DENGAN berbagai rupa pikiran, harus diakui rasanya sedih menyaksikan kematian telanjang begitu rupa para perempuan pelaku teror. Meskipun saya tentu tidak sepakat dengan pilihan tindakannya. Mereka sepenuhnya berwajah manusia. Mereka sejatinya juga korban dari satu struktur berpikir dan perspektif keyakinan teologi yang menurutku bermasalah.
Jika masih dalam struktur berpikir hitam putih, maka tafsir semacam ini tentu tidak mudah diterima. Jelas mereka bukan aktor utama, ada kekuasaan yang jauh lebih besar bekerja dan mendoktrinasi begitu kuat bahwa ‘yang lain’ selalu dibaca sebagai ancaman. Ini sebenarnya hal mendasar dalam sisi gerak kekuasaan despotik yang kerap menggunakan dimensi keagamaan sebagai kendaraannya.
Jika dibaca dalam terminologi ini, maka sejatinya para pelaku itu juga sebenarnya adalah korban. Dalam kacamata literer hitam putih, tentu tafsir ini akan menjadi telaah yang tidak mudah dipahami.
Dalam kesadaran yang masih umum, kita mudah terbiasa untuk meletakkan dua kutub dalam pikiran kita, bahwa hanya ada dua hal di dunia keyakinan yakni soal “benar dan tidak benar”.
Ini semacam jenis logika biner yang sebenarnya masih merasuki nalar teologi kita. Bahwa hanya ada satu nilai yang benar, di luar itu adalah sesat. Hanya ada satu kebenaran dalam keyakinan beragama, yakni kebenaran agamaku dan di luar agamaku adalah kesesatan.
Diam-diam ini juga yang merasuki nalar umum bahwa hanya ada dua jenis pikiran, “kalau ia benar tentu ia tidak salah”. Sebaliknya kalau ia salah tentu ia tidak benar. Kuasa nalar biner inilah yang sekian jejak peradaban yang telah merusak relasi kemanusiaan kita.
Sebuah jenis cara berpikir absolut yang sebenarnya mengandung pikiran yang fasis, rasis sekaligus totaliter. Sebuah nalar kesadaran politik purba yakni cara survival manusia untuk bertaha hidup seperti Hobbes pernah bilang bahwa manusia seolah dihidupi gambaran di mana manusia adalah serigala buas bagi yang lain.
Mengapa nalar purba semacam ini terus hidup padahal dunia sudah begitu maju pesat sekarang ini? Pengandaian bahwa kemajuan dunia akan terisi sepenuhnya dengan nalar rasional yang lebih baik ternyata tidak terbukti seluruhnya.
Bahkan dalam aspek mendasar, kemajuan (modernitas) sendiri sebenarnya juga menjadi bagian yang memberi jalan munculnya berbagai sikap fundamentalisme yang semakin berkembang. Nalar modernitas juga memberi amunisi atas masih pentingnya sikap oposisi biner untuk memusuhi yang lain dan menghancurkan yang berbeda.
Prinsip kemajuan adalah sebuah gerak penataan kehidupan sekaligus seleksi dan kontrol atas dimensi kehidupan masyarakat. Apa yang dianggap menganggu dari tatanan kemajuan akan mudah dianggap penghambat dan ancaman. Dengan begitu setiap ancaman perlu disingkirkan dan dihancurkan.
Bukankah prinsip penataan ini juga serupa dengan dasar prinsip teologi agama yang diam-diam masih hidup dan disangga dari orientasi penataan ini? Apalagi dalam tafsir yang doktriner-fundamentalisme, penataan ini sifatnya literer, mutlak dan wajib. Siapa saja yang tidak patuh atas kuasa penataan ini akan mudah dicap sebagai liyan, sesat, bidah atau bahkan musuh yang harus dihilangkan.
Betapa lebih mengerikan lagi dua nalar antara modernitas dengan wajah gerak kapitalisme pasar yang semakin berwatak despotik ini bertemu da hidup bersamaan dengan “fundamentalisme teologi”.
Dua nalar ini semakin bergerak seiring dan menunjukkan tipe dan pola yang sama. Dari dahulu sampai sekarang orang masih banyak yang mengira bahwa modernitas dan fundamentalisme itu dua hal yang berkontraksi. Namun jika dicermati lebih jauh, dua hal itu bergerak dialektis dalam tubuh yang sama. Dua-duanya sama membentuk kombinasi ekspresi yang sangat mengancam kehidupan manusia hari ini.
Dengan nalar dingin, mereka akan begitu tega menghancurkan apa dan siapa saja yang dianggap tidak selaras dengan gerak penataan yang mereka percayai untuk memenuhi arkhe atau semacam utopia luhur mereka tentang surga yang dimimpikan.
Dalam kuasa gerak kapitalisme pasar, surga nampak sebagai yang imajiner dalam kehidupan kenikmatan dan kebahagiaan dunia. Sementara dalam teologi, surga adalah “yang imajiner” sebagai sesuatu kenikmatan dan kebahagiaan pasca kehidupan (akhirat).
Dua arkhe tentang utopia surga begitu dipercayai bisa didapatkan bersama baik dalam kehidupan ataupun pasca-kehidupan. Kombinasi ideologi ini sekarang begitu hegemonik dipeluk dan dipercayai menjadi satu kesadaran utama masyarakat.
Kalimat “selamat di dunia dan di akhirat” jika kita cerna secara lebih kritis justru menyimpan potensi despotik kekerasan yang luar biasa jika masih dihidupi dengan nalar “penataan” dan penyingkiran atas segala hal yang dianggap “liyan” dan menghambat proses pemenuhan menuju surga yang didambakan.
Maka lihatlah, banyak masyarakat modern sekarang begitu terobsesi dan begitu yakinnya dengan rute kombinasi keselamatan dunia dan akhirat, termasuk meraihnya harus melalui cara yang justru malah menghancurkan kehidupan.
Bagi saya, problem ini yang masih penting untuk dipikirkan. Selama pikiran rasional dan teologi kita sendiri masih dihidupi dengan watak despotik penataan dengan kuasa penyingkiran atas ‘yang lain’ maka persoalan terorisme akan selalu muncul sebagai sebuah masalah besar.
Gerak teologi kematian ini harus terus dilawan dengan bentuk kongkrit solidaritas dan cara pikir radikal untuk merubah secara mendasar pikiran biner dan obsesi penataan itu sendiri. Kita harus terus bergerak dan meyakini bahwa cara berpikir biner dan obsesi penataan secara despotik ini hanyalah bentuk dari teologi yang membunuh dan merusak kehidupan.
Siapkah kita secara dewasa, sadar dan mau mengoreksi dan melakukan autokritik atas pikiran dan keyakinan yang sudah mengerak ini secara radikal?
Catatan: tulisan ini terlebih dahulu dimuat dalam facebook Tri Guntur Narwaya (1/04/2021).