DALAM pembukaan rapat kerja nasional Kementerian Perdagangan 2021 di Istana Negara, Kamis (4/3/2021), sebagai tamu utama, Presiden Joko Widodo menyerukan ‘penggaungan cinta produk Indonesia, sekaligus membenci produk-produk luar negeri.’
Seruan semacam itu buka hal baru. Mendiang Presiden Soeharto kerap mencanangkan cinta produk dalam negeri. Bedanya dia tidak pernah menyerukan untuk membenci produk asing. Kali ini dua hal diametral berhimpit dalam seruan itu; mencintai dan membenci.
Mencintai dan membenci dalam konteks konsumsi menggendong prasyarat. Lewat mekanisme pertukaran prasyarat itu dikonfirmasi. Lazimnya orang akan mengonsumsi suatu barang karena ia bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan.
Jika prasyarat itu terpenuhi, orang akan puas. Jika alasan terjawab, orang dengan senang akan melepas uangnya. Ia tidak akan menimbang asal barang. Sebaliknya, jika prasyarat tidak tercukupi, ia dengan segera akan bilang setop! atau not anymore!
Selain karena nilai fungsi atau gunanya, orang mengonsumsi suatu barang karena nilai tanda. Model, corak, bahan, warna, rasa, ukuran, merk, atau harga, adalah contoh dari sekian ragam nilai tanda. Nilai yang akan menghubungkan produk dan konsumen.
Nilai tanda itu kelak akan ditandingkan konsumen saat berhubungan dengan orang lain di ruang-ruang sosial keseharian; arisan, kuliah, pesta, main golf, sidang paripurna, atau bahkan dalam rapat kerja nasional kementerian.
Di era kini orang mengonsumsi suatu barang bukan melulu untuk menghabiskan nilai fungsi dan guna, tetapi berkaitan dengan bagaimana dan lewat apa yang dibeli dapat membuat penampilan terjaga, dan gengsi bisa terdongkrak. Ini yang jamak.
Jika seseorang mencintai produk X atau membenci produk Y kiranya sudah jelas arah dan alasannya. Sekeras apapun seruan untuk mencintai atau membenci suatu produk, jika terlepas dari prasyarat, alasan, dan logika konsumsi sudah tentu tidak akan berfaedah.
Komoditas konsumsi bisa juga dipakai untuk menegaskan identitas kebangsaan. Di paruh akhir perjuangannya, Gandhi bercawat. Hal itu dilakukannya bukan karena tidak mampu membeli pakaian, tetapi untuk menunjukkan produk India sebagai simbol nasionalitas.
Malaysia memilih setelan baju koko, sarung, dan peci untuk laki-laki dan baju panjang dan jilbab untuk perempuan, sebagai identitas kemelayuan. Filipina memilih setelan baju koko dan pantalon putih untuk laki-laki dan long dress berlengan lonceng untuk perempuan.
Mendiang Presiden Soekarno pernah berkeinginan menjadikan setelan jas dan peci untuk laki-laki, dan setelan kebaya kain bagi perempuan untuk menentukan batas keindonesiaan. Sebuah harapan yang sejauh ini hanya bersifat hangat-hangat tahi ayam.
Kerja sama multilateral CAFTA 2010 kawasan ASEAN yang awalnya diimpikan menjadi ajang produksi kompetitif, sarana menarik investasi asing, dan menciptakan pasar regional bagi masyarakat Asia Tenggara lewat AFTA 1992, berantakan. Pelan dan pasti negara ASEAN, tak terkecuali Indonesia, mulai dibanjiri pelbagai produk buatan Tiongkok, bukan produk sendiri. Celakanya, keleluasaan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan sebagian besar justru dipenuhi oleh produk asing.
Kepuasan dan keyakinan konsumen terhadap produk dalam negeri yang dalam beberapa waktu menjadi persoalan dan menjadi kendala, belakangan justru tak lagi ditemui seiring membuncahnya produk asing. Konsumen banyak tertolong produk asing.
Jika seseorang menyerukan untuk mencintai produk X dan membenci produk Y sudah terbayang jawabannya. Sekeras apapun seruan digaungkan, jika terlepas dari alasan dan kenyataan di lapangan sama juga bohong. Mencintai bermasalah, membenci apa lagi!