Dalam rangka menjelang peringatan 100 hari meninggalnya beliau, sekaligus untuk menyegarkan kembali ingatan dan kenangan kepada beliau, MINDSET Institute bekerjasama dengan Komunitas Geni dan Garba Budaya selaku penerbit, berinisiatif mengadakan acara bincang-bincang sekaligus peluncuran buku “Kanan Kiri Arief Budiman” tersebut pada hari Sabtu, 18 Juli 2020.
Bincang-bincang diawali dengan pengantar singkat oleh Otto Adi Yulianto (MINDSET Institute). Selanjutnya sambutan dari penyelenggara disampaikan oleh Tri Guntur Narwaya, Direktur Eksekutif MINDSET Institute. Guntur mengapresiasi acara tersebut sekaligus mengucapkan terima kasih atas kerjasama yang terjalin dengan Komunitas Geni dan Garba Budaya.
Selanjutnya, Eri Sutrisno mewakili Komunitas Geni dan Garba Budaya selaku penerbit, menceritakan ide awal penulisan buku “Kanan Kiri Arief Budiman” yang lebih mudahnya disingkat menjadi buku KKAB.
Awalnya gagasan penulisan buku ini bukan sesuatu yang terlalu serius dan ditawarkan secara terbatas bagi alumni UKSW serta dari Salatiga saja. Namun kemudian dalam perkembangannya diperluas ke teman-teman di Jogya, Solo, Semarang, Salatiga dengan topik yang beragam dan mengalir secara bebas.
Akhirnya, tanpa diduga, tulisan yang dihasilkan dalam waktu penulisan hanya sekitar tiga minggu muncul dalam berbagai perspektif yang komplit seperti soal Golput, feminisme dan gerakan perempuan, human interest, termasuk soal Timor Timur serta PRD. Komunitas Geni kemudian menggandeng penerbit Garba Budaya untuk proses penerbitan dan pencetakan buku KKAB.
Sambutan berikutnya dari keluarga yang diwakili Santi K. Budiman (putri Arief Budiman). Santi menyampaikan terima kasih dan apreasiasi kepada Komunitas Geni yang secara sukarela berinisiatif untuk penulisan buku ini, serta semua pihak yang terlibat dalam proses penerbitan buku maupun penyelenggaraan acara bincang-bicang buku.
Secara khusus Santi menyampaikan rasa syukur dan terima kasih kepada rekan-rekan dari Yayasan Geni yang dari dulu sampai sekarang selalu dekat, membarengi Arief Budiman, baik dalam pikiran, perjuangan maupun persahabatan; serta menjaga komunikasi yang baik dengan keluarga Arief Budiman sehingga keluarga tidak pernah merasa sendirian.
Santi juga menyampaikan bahwa kendati Pak Arief sudah di alam sana, tetapi pastilah beliau sangat mengapresiasi usaha untuk menulis dan menerbitkan buku yang bertutur tentang dirinya dari berbagai sisi. Semoga Arief Budiman selalu “dihidupkan” dengan masing-masing versi murid dan sahabat beliau.
Diskusi buku kemudian dipandu oleh moderator Tri Agus Susanto Siswowiharjo (TASS) dari MINDSET Institute yang secara personal sejak masih di PIJAR sudah memiliki kedekatan dengan Arief Budiman maupun Komunitas Geni. TASS mengantarkan diskusi dengan meminta para inisiator buku untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan Kanan dari KKAB.
Ada tiga pemantik diskusi, yaitu Joss Wibisono, Stanley Adi Prasetyo, dan Maria Hartiningsih. Joss merupakan salah satu inisiator penerbitan buku KKAB, alumnus UKSW dan tentunya adalah murid Arief Budiman, sekaligus seorang penulis dan wartawan yang telah lama menetap di Amsterdam sebagai penyiar Radio Netherlands.
Berikutnya Stanley, salah seorang pendiri Yayasan Geni serta aktivis yang dekat dengan Pak Arief sejak mahasiswa sampai menjelang Pak Arief wafat; selain itu juga pernah menjadi Ketua Dewan Pers dan komisioner Komnas HAM.
Sedangkan Maria adalah penulis dan wartawati Kompas (1984-2015), juga penerima Yap Thiam Hien Award atas konsistensinya dalam mengusung isu-isu HAM dalam pemberitaannya. Kendati mengenal Pak Arief tidak secara intensif, Maria pernah secara khusus mendapat perhatian dan dukungan dari Pak Arief saat Maria mengalami tekanan atas berita yang ditulisnya.
Stanley sebagai pemantik diskusi pertama mengawali dengan menyebutkan bahwa buku KKAB sebetulnya adalah bagian dari tiga buku tentang Arief Budiman yang akan terbit dengan inisiator dan penerbit yang berbeda-beda. Saat Stanley mulai kuliah, UKSW yang berada di Kota Salatiga yang sepi dan sejuk merupakan kampus dengan kehidupan intelektual yang cukup bagus dengan sejumlah dosen yang sering menulis di media massa.
Kedatangan Arief Budiman ke Salatiga tahun 1980-an membawa pengaruh yang besar. Arief yang baru pulang dari Harvard University, bukunya ketika itu juga baru saja terbit, menjadi magnet yang membuat banyak pihak, intelektual, mahasiswa maupun seniman dari kota lain, berkunjung ke Salatiga dan berdiskusi atau pentas di UKSW.
Tidak terhindarkan kemudian UKSW dan Salatiga menjadi menarik perhatian pers nasional, karena kehadiran, tulisan, dan pendapat-pendapat Arief Budiman seperti dengan mengangkat Teori Strukturalisme yang kala itu masih sangat baru bagi publik Indonesia.
Buku KKAB, walaupun isinya mungkin tidak lagi tepat bagi anak muda jaman sekarang, namun isinya menggambarkan sosok Arief Budiman terutama sebagai tokoh rendah hati dan dekat dengan anak muda dan mendukung anak muda untuk terlibat dalam proses demokrasi di Indonesia.
Sementara Joss menyampaikan bahwa ia meninggalkan Salatiga menuju Belanda berkat bantuan Arief Budiman yang sekaligus merupakan pembimbing skripsinya. Arief memiliki cara mengajar yang berbeda dari pengajar-pengajar lain, yaitu mampu mengajarkan teori-teori yang susah dan rumit dengan cara yang sederhana dan mudah dimengerti.
Yang dilakukan Arief adalah mengajar mahasiswa untuk paham terlebih dahulu intisari dari teori baru kemudian Arief meminta mahasiswa agar mampu menjelaskan dengan kata-kata sendiri, mulai dari lisan dan kemudian tulisan. Bagi Arief, yang penting dalam menjawab pertanyaan adalah jawaban dirumuskan dalam kalimat-kalimat yang benar.
Cerita lain yang menarik dari Joss adalah bagaimana Arief Budiman tidak sungkan mengajak mahasiswanya untuk tampil berdebat dengannya secara terbuka di media massa.
Hal semacam ini, dengan proses yang tidak pendek, sebetulnya adalah upaya untuk mengajak media massa mulai berani secara terbuka mengritik Orde Baru. Dalam melatih mahasiswa menulis, ciri Arief Budiman soal keterampilan menulis serta cara menyampaikan gagasan.
Perihal judul buku KKAB, Joss menyebutkan bahwa Kanan Kiri dimaksudkan untuk memberikan ruang cakupan kehidupan Arief Budiman baik kanan maupun kiri, dan soal pergeseran kiblat politiknya sejak akhir era Soekarno sampai era Orde Baru.
Adapun Maria memulai penuturannya dengan menyatakan bahwa sebetulnya ia tidak kenal Arief Budiman dan bukan murid Arief Budiman. Lebih sebagai penggemar Ibu Leila Budiman, selain juga sering bersinggungan dengan murid-murid Pak Arief, seperti Stanley dan juga Joss. Sebagai wartawan, posisi Maria adalah tidak bisa melihat ketidakadilan, artinya membela kemanusiaan.
Buku Pembagian Kerja Secara Seksual dan Teori Pembangungan Dunia Ketiga adalah awal perkenalan Maria dengan Arief Budiman. Buku-buku inilah yang kemudian mengawali pedoman kerja-kerja Maria sebagai wartawan di kemudian hari, yaitu bahwa ada ketidakadilan.
Arief juga memberikan dukungan ketika Maria menulis reportase soal TKW di luar negeri di tahun 1995 yang tidak disenangi Konsulat Indonesia. Dukungan tersebut secara khusus berupa kehadiran Arief Budiman dengan secara langsung menyampaikan ke Maria bahwa apa yang ditulisnya adalah benar adanya. Arief mendukung Maria untuk terus menulis soal ini.
Selain ketiga pemantik diskusi di atas, sejumlah peserta bincang-bincang juga berbagi cerita, pengalaman bersama Arief Budiman baik dalam hubungan sehari-hari maupun dalam hubungan guru dan murid. Disampaikan pula harapan agar ada kesempatan lain untuk turut menulis tentang Arief Budiman.