Diskusi online mencoba membahas datacracy. Sekarang adalah zaman Datacracy! Demikian sebut Bhaskar Chakravorti dari Tufts University dalam satu tulisannya di tahun 2018. Sebelumnya, sosiolog Belgia, de Kerckhove, dalam satu diskusinya menyinggung pula perihal the Age of Datacracy.
“Negara” Facebookistan, misalnya memiliki “penduduk” lebih dari 2,2 miliar dan dengan jejaringnya melayani dan berbagi data ke banyak mitranya, termasuk yang kemudian memunculkan kontroversi serius seperti konsultan politik Cambridge Analytica atau perusahaan teknologi Yandex yang terhubung dengan Kremlin. Kita pun melihat masih ada Instagram, YouTube, WhatsApp, Twitter dengan jumlah “penduduk” yang juga tidak bisa diabaikan dan terus bertumbuh. Inilah dunia atau negara yang dipenuhi oleh miliaran netizen.
Menurut de Kerckhove, “datacracy is an exaggeration and a provocation” yang tampaknya akan benar-benar terjadi. Bahkan, peluang ini bisa menguat ketika dikaitkan dengan karakteristik negara-negara Asia Timur yang lebih memiliki ketertarikan dalam perilaku kolektif, ketimbang perilaku privat.
Secara lebih jauh, kendati mungkin masih spekulatif, timbul “kekhawatiran”, jangan-jangan datacracy akan dapat benar-benar melenyapkan demokrasi. Datacracy sangat berbahaya, dalam pandangan de Kerckhove. Tata kelola data (governance of data), resiko dari teknologi-teknologi baru, berikut masa depan demokrasi kini menjadi harus dilihat sebagai tidak lepas dari kemajuan pesat internet.
Bigdata dan artificial intelligence (AI) tentu saja juga menjadi berperan penting di sini. Suka suka tidak suka, bigdata telah ada dan terus berakumulasi. Bahkan, disadari bahwa bigdata, tentu beserta AI, juga dapat menjadi material penting dalam pengambilan keputusan demi kemaslahatan warga manusia.
Dengan demikian, boleh jadi, justru datacracy menjadi penyelamat dari situasi demokrasi yang tidak sehat dan tidak akuntabel. Bigdata mempunyai potensi menjadi alat demokratisasi karena state menjadi tidak lagi punya kuasa untuk benar-benar mengendalikannya. Dengan kata lain, kekuasaan penciptaan dan pemanfaatan data untuk digiring penentu kebijakan pasti akan mengalami disrupsi.
Namun, secara bersamaan, disparitas ketersediaan infrastruktur information and technology (IT) harus juga mendapatkan perhatian serius karena berimplikasi pada timpangnya utilisasi dan analisis bigdata dalam konteks datacracy. Di sini menjadi penting pula untuk mengenali perihal derajat literasi digital warga masyarakat kita sendiri karena tanpa ini, datacracy pun tetap akan menjadi sesuatu yang asing bagi warga masyarakat.
Ketika pandemik Covid19 melanda dunia, termasuk Indonesia, dan kegiatan di dunia nyata sangat dibatasi sementara kegiatan di dunia maya menjadi kian terbuka dan meluas, tampak bahwa datacracy tersebut makin mendapatkan tempat. Gambaran awal di atas kiranya perlu dielaborasi lebih jauh, khususnya dalam konteks demokrasi di Indonesia yang dalam hal disepakati masih dalam proses yang belum tuntas atau masih tersandera oleh banyak kepentingan.
Petra dalam paparannya melihat bagaimana datacracy bisa digunakan sebagai sumber data baru untuk pengembangan kebijakan publik. Namun bigdata mengalami kendala saat masih banyak daerah di Indonesia yang tidak mendapat akses koneksi internet sehingga mengurangi kesetaraan penjejakan digital. Tentu ini berpengaruh terhadap kebijakan pemerintah dalam pengumpulan informasi dan pemanfaatan data yang ada untuk mendukung keputusan mengeluarkan kebijakan.
Sementara Martin dalam paparannya yang berjudul “Datakrasi 101: Membayangkan Tata Politik Yang Tidak Merepotkan Orang” menyebutkan demokrasi sebagai politik berbasis hak fundamental warga negara. Dalam demokrasi selalu ada jurang presentasi dengan representasi sehingga selalu menimbulkan konflik. Sebaliknya berbagai platfom media sosial yang kita gunakan untuk mempublikasikan diri kita bisa menjadi sketsa komposit mengenai diri kita masing-masing.
Martin menyebutkan melalui dataraya tentang diri kita bisa digunakan untuk berkontribusi kebebasan politik warga negara. Secara konseptual datakrasi sangat menjanjikan tetapi tampaknya masih membutuhkan waktu yang panjang untuk bisa terealisir.