Diskusi online membahas pandemi COVID-19 yang telah mengguncang sistem ekonomi politik global. Dampaknya berpengaruh signifikan terhadap berbagai kondisi politik, ekonomi dan sosial yang ada. Pandemi ini nyaris mampu menyingkap sekian sisi buruk yang mengendap dalam struktur-struktur kelembagaan masyarakat kita, termasuk negara.
Berbagai diskursus sudah banyak terkonsentrasi untuk membaca posisi negara yang kalang-kabut untuk menjawab tantangan wabah besar ini. Namun kita juga tahu bahwa imbasnya telah menyergap berbagai aspek lainnya. Setidaknya terlihat bahwa, kekacauan akibat kondisi kedaruratan ini mempengaruhi hampir keseluruhan aspek, baik di tingkat domestik maupun dalam skala global.
Dalam realitas sistem pengelolaan politik demokrasi hari ini, tentu peran negara (pemerintah) bukan satu-satunya aktor yang memiliki otoritas tunggal untuk memecahkan setiap persoalan yang muncul. Kecuali institusi kepentingan ekonomi pasar, kita juga memahami bahwa peran aktor kelembagaan non negara seperti Non-Governmental Organizations (NGOs), organisasi masyarakat sipil dan komunitas masyarakat lainnya mengambil bagian penting dalam struktur kehidupan publik.
Di antara negara, pasar dan kekuatan masyarakat sipil adalah pilar masyarakat politik yang saling terkait satu dengan yang lain. Dengan logika posisi ini, tentu pertanyaan penting yang perlu diajukan adalah seberapa besar konsekuensi dampak krisis pandemi ini terhadap eksistensi kelembagaan-kelembagaan itu.
Leopold dalam paparannya yang berjudul “Civil Society dan Pandemi COVID-19” mengutarakan hasil riset Oxfam menyebutkan ada sekitar 50 juta rakyat di seluruh dunia mengalami kehilangan pekerjaan akibat COVID-19. Sektor pendidikan juga mengalami persoalan walaupun bisa diatasi dengan online tetapi kualitas interaksi, dan wilayah pedesaan akan kesulitan mengakses internet.
Menurut Leopold, COVID-19 juga berdampak bagi kemerdekaan individu untuk berkumpul dan bergerak. Pertemuan orang yang di ruang online juga mensyaratkan keamanan data. Nah, bagaimana dengan keamanan data individu? Lembaga donor meminta lembaga partners-nya merubah aktivitas menjadi online.
Sementara Damai dalam paparannya “Quo Vadis NGO Indonesia dalam Konteks COVID” menuturkan sebelum COVID-19 sudah ada banyak pembela HAM, masyarakat adat, jurnalis, pembela lingkungan, pembela anti korupsi, LGBTQ dan aktivis mahasiswa yang dikriminalisasi. Saat pandemi pun ada para petani yang dikriminalisasi, aktivis pembela demokrasi diretas Whatsappnya.
Damai juga memaparkan saat orang bekerja di rumah pun terjadi beban kerja ganda bagi perempuan, kekerasan berbasis gender menjadi meningkat, dan akses ke perawatan kesehatan terbatas pada keadaan darurat. Darurat COVID-19 juga darurat demokrasi. Lembaga donor sebelum COVID-19 telah banyak yang pindah ke negara yang dianggap masih butuh bantuan. Maka NGO perlu memberdayakan diri dan komunitasnya masing-masing supaya tidak hanya bergantung pada donor.