Diskusi ini merespon kebijakan keuangan yang dilakukan oleh pemerintah. Presiden Joko Widodo telah menandatangi Perpres No. 54/ 2020 tentang Perubahan Postur APBN 2020. Perpres tersebut menegaskan bahwa defisit APBN mengalami pelebaran dikarenakan pemerintah harus mendanai belanja yang besar demi pemulihan ekonomi nasional sehubungan dengan Covid-19.
Ini terdiri dari biaya kesehatan Rp 87,55 triliun, perlindungan sosial Rp 203,9 triliun, insentif usaha Rp 120,61 triliun, bantuan UMKM Rp 123,46 triliun, pembiaayan korporasi Rp 537,57 triliun, dan sektoral kementerian/lembaga & pemda Rp 106,11 triliun.
Perubahan anggaran pada dasarnya masih mungkin terjadi tergantung dengan perkembangan situasi. Yang jelas, fokus belanja negara, menurut Menkeu Sri Mulyani adalah untuk bantuan sosial, bantuan UMKM, insentif dunia usaha, serta mendorong sektor keuangan perbankan dan korporasi (Katadata, 24/6/2020).
Menkeu juga menegaskan bahwa jajarannya akan terus memantau penggunaan seluruh belanja negara dari minggu ke minggu secara detil. Upaya pengawasan tersebut juga didukung aturan teknis Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 43/PMK.05/2020 tentang Mekanisme Pelaksanaan Anggaran Belanja atas Beban APBN dalam Penanganan Pandemi Covid-19 agar tetap akuntabel (Kemenkeu.go.id, 06/5/2020).
Peraturan ini menjelaskan mekanisme pelaksanaan anggaran belanja, alokasi dana penanganan pandemi yang dialokasikan dalam Daftar Isian Pelaksana Anggaran (DIPA) Kementerian/Lembaga (K/L), pengelompokan dana penanganan Covid-19 dalam akun khusus Covid-19, dan masa berlaku PMK 43/2020.
Tampak bahwa pemerintah, khususnya Kemenkeu, memiliki upaya serius untuk memastikan kualitas penggunaan anggaran negara sehubungan dengan pandemi Covid-19. Ini menandakan bahwa Menkeu tidak ingin anggaran tersebut digunakan secara serampangan.
Upaya demikian kiranya penting untuk juga diketahui public, termasuk dalam rangka menjaga kepercayaan publik kepada pemerintah. Sebagaimana disampaikan oleh Menkeu, ada keharusan mendesak bagi jajarannya untuk mampu beradaptasi dan sigap untuk menjaga kehidupan masyarakat agar tidak semakin terpuruk.
Namun, di lapangan masih tampak terjadi sejumlah tindakan yang tidak tepat, khususnya di tingkatan pemerintahan yang lebih rendah. Sebagai contoh, di lima daerah di Sumatera Utara terindikasi adanya kasus penyelewengan dana bantuan sosial (bansos) dan bantuan langsung tunai (BLT) (Tempo, 21/5/2020).
Sedangkan di Sumatera Selatan mencuat kasus kepala dusun dan anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang diduga telah memotong dana bantuan langsung tunai (BLT) milik warga yang terdampak Covid-19 (Kompas, 02/6/2020).
Beberapa contoh tersebut juga memberikan petunjuk bahwa upaya pemerintah untuk mengawal penggunaan anggaran negara ini perlu mendapatkan dukungan publik yang kuat. Bahkan dapat dikatakan hal ini juga merupakan suatu tanggungjawab yang diemban publik. Apalagi, seperti selalu disebutkan oleh pemerintah bahwa “APBN adalah uang kita.
Uang rakyat Indonesia yang digunakan sebesar-besarnya demi kesejahteraan masyarakat Indonesia.” Dengan demikian, kiranya penting pula untuk mengungkap kembali resiko-resiko yang bisa muncul bila upaya mengawal penggunaan anggaran negara tersebut tidak dilaksanakan secara maksimal.
Wahyu dalam paparannya berjudul “Arah dan Tantangan Kebijakan Fiskal Mendukung Pemulihan Ekonomi” menyebutkan bahwa dalam situasi pandemi yang datangnya tidak diduga, fleksibilitas anggaran menjadi penting dengan mengedepankan governance. Aspek governance ini penting karena melibatkan anggaran yang besar. Proses penggunaan anggaran yang lambat terutama karena regulasi yang tidak kompatibel dengan situasi darurat.
Maka harusnya regulasi pun disesuaikan dengan keadaan darurat, misalnya untuk di tahun 2021 program bantuan akan dibuat terintegrasi dengan menggunakan data terpadu berbasis NIK (kependudukan). Tujuan akhirnya adalah Indonesia mempunyai social safety net yang baik dan sesuai dengan situasi-situasi darurat lainnya seperti bencana alam.
Hemi dalam paparannya berjudul “Potensi Korupsi di Tengah Pandemi” menyoroti celah korupsi di Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, Pasal 27 ayat (1) yang menyebutkan biaya yang dikeluarkan pemerintah dalam pelaksanaan kebijakan keuangan untuk penyelamatan ekonomi dari krisis bukan merupakan kerugian negara.
Selain itu, Hemi mengutarakan pengandaan barang dan jasa alat kesehatan juga membuka celah korupsi. Masyarakat bisa mengambil peran pengawasan dan melakukan pelaporan jika mendapatkan informasi potensi korupsi ke lembaga pengawasan yang telah tersedia.