Diskusi online MINDSET Institute merespon dampak ekonomi dari pandemi COVID-19 yang menimpa hampir semua negara, termasuk Indonesia. Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu menyebutkan bahwa loss potential growth ekonomi Indonesia akibat COVID-19 selama tiga bulan terakhir sekitar 2 persen dibandingkan Produk Domestik Bruto (PDB) tahun lalu.
Persentase ini setara dengan Rp. 316 triliun. Jumlah ini tidaklah kecil dan sekaligus mengindikasikan bahwa memang perlu upaya serius untuk mengatasi krisis ekonomi yang terjadi dan mungkin masih akan berlanjut.
Pemulihan Ekonomi Nasioal (PEN) menjadi sangat penting. Kamis (4 Juni 2020), pemerintah memutuskan peningkatan anggaran PEN sehingga defisit APBN 2020 menjadi Rp. 1039,2 triliun atau menjadi 6,34% dari PDB, naik dari 5,07% dari PDB. Peningkatan defisit terjadi karena besaran pengeluaran menjadi lebih tinggi dari penerimaan negara.
Untuk mendukung PEN tersebut, pemerintah merencanakan menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN). Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, dalam sosialisi rencana penerbitan diaspora bond—khusus untuk WNI yang tinggal di luar negeri atau WNA keturunan Indonesia, menyatakan bahwa dua seri global bond, yakni samurai bond dan euro bond, juga akan terbit pada semester II-2020.
Bagaimana strategi agar surat utang tersebut diterima pasar, masih belum disebutkan. Apakah pasar akan bereaksi positif atau negatif atas kehadiran beragam SBN ini, masih sulit untuk diperkirakan. Pasar tentu memiliki kalkulasi, dengan melihat kecenderungan yang akan terjadi, termasuk bagaimana dengan kekuatan surat-surat berharga lainnya.
Hingga April 2020, total utang pemerintah telah mencapai Rp. 5.172,48 triliun, meningkat 14,22 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Data Bank Indonesia juga menyebutkan bahwa posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada akhir kuartal I 2020 sebesar 389,3 miliar dollar AS yang terdiri dari ULN sektor publik (pemerintah dan bank sentral) sebesar 183,8 miliar dollar AS dan ULN sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar 205,5 miliar dollar AS.
Jadi di satu sisi jumlah beban utang sudah besar, dan masih mungkin bertambah lagi karena pemulihan ekonomi menggunakan instrumen utang. Artinya, jumlah utang akan meningkat.
Kendati pemerintah menyebutkan bahwa penarikan utang oleh Indonesia untuk mengatasi COVID-19 masih relatif rendah bila dibandingkan negara-negara lain, namun utang, apalagi utang pemerintah selalu menimbulkan kontroversi.
Di satu sisi dipahami bahwa ada kebutuhan pendanaan yang besar untuk pemulihan ekonomi. Namun di sisi lain terdapat khawatiran akan resiko beban utang di masa depan, selain tentu saja soal apakah memang utang merupakan strategi yang tersisa, karena tidak ada pilihan lain.
Bagaimana persisnya kebutuhan dan kendali terhadap beban utang kiranya menjadi penting diperhatikan kembali, terutama oleh publik. Boleh jadi, ada indikator-indikator kebutuhan dan beban utang yang perlu diperjelas atau mungkin yang lebih realistis dan mudah dipahami publik.
Bhima dalam paparannya yang berjudul “Fun Fact Utang 2020” menyebutkan pemerintah seharusnya tidak perlu terburu menerbitkan surat utang atau meminjam uang dari luar negeri. Pemerintah masih bisa melakukan realokasi anggaran di lembaga dan kementerian yang tidak produktif diarahkan untuk pemulihan ekonomi nasional.
Sementara Edwin dalam paparannya berjudul “Respon Pasar atas (Rencana) Penerbitan Surat Utang Negara” menyebutkan pasar masih menyambut baik keadaan ekonomi nasional, terutama karena surat utang Indonesia masih memberikan imbal hasil yang baik.
Edwin juga menyebutkan bagi sektor yang terdampak pandemi COVID-19 seperti jasa dan pariwisata perlu ada antisipasi ekonomi. Sedangkan sektor e-commerce dan digital connectivity mendapat respon positif dari pasar.