Eusebius Pantja Pramudya adalah Sekretaris Pengawas Mindset Institute. Pantja Pramudya menyelesaikan pendidikan doktor ekonomi dari Wageningen University and Research (WUR), Belanda (2017). Selama ini, Pantja Pramudya banyak melakukan penelitian di bidang ekonomi dan sosial di Indonesia.

Economic Talk: Naik Kelas Menuju Negara Maju

3 menit waktu baca

Indonesia berhasil naik kelas pendapatan. Demikian ungkapan penuh optimisme yang dilontarkan oleh berbagai kalangan menyambut meningkatnya klasifikasi Indonesia dari lower middle income country menjadi upper middle income country, berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh Bank Dunia di awal Juli 2020. Sebelumnya, di penghujung Februari 2020, Indonesia juga sudah dikeluarkan oleh Amerika Serikat dari daftar negara berkembang.

Upaya Indonesia menjadi negara maju merupakan tema yang sering diangkat oleh berbagai pihak belakangan ini. Pemerintah Indonesia pun akhir-akhir ini menggebu-gebu menargetkan Indonesia harus menjadi negara maju. Berbagai lembaga pemeringkat dunia juga mengulas hal ini dengan begitu optimis.

MINDSET Institute berinisiatif membedah lebih lanjut wacana prestasi Indonesia menjadi negara maju tersebut dalam Economic Talk: Naik Kelas Menuju Negara Maju pada hari Jumat, 24 Juli 2020. Para pembicara yang diundang ialah Esther Sri Astuti (Direktur Program INDEF), Rosdiana Sijabat (Dosen Universitas Atma Jaya Jakarta), Aloysius Gunadi Brata (Peneliti MINDSET Institute dan FBE Universitas Atma Jaya Yogyakarta) dan Panca Pramudya (Peneliti MINDSET Institute) dengan moderator Zita Wahyu Larasati (Dosen Fisipol UGM).

Ada empat perspektif yang hendak diulas. Perspektif pertama ialah konsekuensi kenaikan kelas pendapatan Indonesia terhadap posisi perekonomian Indonesia dalam ekonomi global. Perspektif kedua mencoba melihat implikasi kenaikan kelas ini terhadap daya tarik Indonesia dari sisi investasi.

Perspektif ketiga mencoba mengangkat konsekuensi kenaikan kelas pendapatan dari sudut pandang berbagai pekerjaan rumah di bidang ekonomi seperti inequality dan keberlanjutan dari peningkatan kelas ini. Perspektif keempat mencoba menelisik fundamental pembangunan berkelanjutan di balik kenaikan kelas perekonomian Indonesia.

Esther dalam paparannya bertema “Naik Kelas Menjadi Negara Maju” menyebutkan World Bank menetapkan Indonesia sebagai upper middle income country pada 1 Juli 2020. Indonesia membutuhkan waktu 18 tahun dari negara lower middle income country menjadi upper middle income country.

Pendapatan Indonesia sebesar USD 4.050 perkapita, sementara standar terbawah di upper middle income country ialah USD 4.046 perkapita. Jadi posisi Indonesia belum aman, masih rentan turun ke lower middle income country.

World Bank beralasan Indonesia memiliki peningkatan pendapatan, pertumbuhan ekonomi  dan nilai tukar rupiah yang baik. Keuntungan dari naik kelas ini adalah meningkatkan kepercayaan calon investor dan negara diminta menjadi dermawan.

Sedangkan kerugiannya ialah bunga pinjaman dikenakan lebih tinggi, banyak fasilitas sebagai negara lower income akan dihilangkan, dan peningkatan pendapatan perkapita tanpa perubahan struktur akan rentan terjebak dalam kelompok negara berpendapatan menengah (middle income trap).

Rosdiana dalam paparannya bertema “Naik Kelas dan Implikasinya terhadap Daya Tarik Investasi di Indonesia” menyebutkan naiknya apresiasi kinerja ekonomi dampaknya tidak signifikan bagi investment attractiveness Indonesia.

Beberapa poin yang dilihat menarik atau tidaknya negara Indonesia dari investment capacity seperti resource yang lemah, infrastruktur yang masih buruk dan produksi nasional melompat.

Poin investment activity seperti apakah Indonesia mampu menciptakan lingkungan investasi yang kompetitif dan bebas korupsi. Sementara poin investment risks seperti resiko ekonomi dan politik Indonesia.

Economic Freedom Index membuat empat kategori untuk melihat menarik atau tidaknya aktivitas ekonomi di sebuah negara seperti peraturan yang jelas, kapasitas pemerintahan, efisiensi pemerintahan, dan terbuka terhadap ekonomi secara global. Dari kategori tersebut Indonesia di angka 56 di tahun 2010 menjadi 67 di tahun 2020. Artinya relatif membaik.

Sementara FDI Attractiveness Index menyebut Indonesia tidaklah buruk. Jika dilihat dari institusi dan kemudahan melakukan bisnis dari tahun 2019 ke tahun 2020, business environment dengan ranking 60 di tahun 2019 menjadi ranking 62 di tahun 2020. Artinya ada perbaikan kenaikan kelas. Ini sebagai market confidence bagi investor asing.

Alo dalam pemaparannya bertema “Indonesia Naik Kelas: Catatan Sisi Ketimpangan” menyampaikan ranking Indonesia yang naik tidak memperhitungkan dampak Covid19 karena data yang digunakan tahun 2019. Data income tidak merefleksikan data restribusi sehingga ada persoalan di sana.

Ketimpangan dapat dilihat dari dua aspek, pertama outcomes diukur dari pendapatan, kekayaan dan pengeluaran. Kedua opportunities terkait dengan perbedaan-perbedaan di luar kendali seseorang seperti gender, etnis, tempat lahir, latar belakang keluarga dll.

Badan Pusat Stastistik (BPS) mengeluarkan data setelah Indonesia disebut naik kelas sehingga ketimpangan bisa dilihat dengan kategori perkotaan, perdesaan dan gabungan keduanya. Akibat Covid19 yang timbul belum dilihat oleh BPS. Seharusnya garis kemiskinan kita telah berubah.

Perubahan Gini Rasio dari September 2019 sampai Maret 2020 di perkotaan dan perdesaan meningkat. Perkotaan meningkat di 20 provinsi, perdesaan meningkat di 13 provinsi, dan perkotaan-perdesaan meningkat di 13 provinsi. Artinya ketimpangan semakin tinggi, padahal belum ada efek dari Covid19.

Panca dalam paparannya bertema “Naik Kelas Menuju Negara Maju” menyebutkan pada bulan Februari, The United States Trade Representative (USRT) mengeluarkan Indonesia dari negara berkembang bersama dengan Argentina, Brazil, India.

Yang menarik komentar beberapa pejabat di negara-negara, Indonesia berkomentar optimis, sementara China menyebut ini melukai sistem perdagangan multilateral, India langsung cemas dengan kondisi petaninya.

Di dalam negeri sendiri ada urusan yang belum selesai seperti pembangunan berkelanjutan. Ekonomi Indonesia sangat bergantung pada sumberdaya alam. Tahun 1990an, kita pernah mau menjadi Asian Tiger dengan berkembang menjadi negara perekonomian manufaktur berbasis peningkatan teknologi, namun anjlok tahun 1998.

Krisis ekonomi membuat kita harus mengandalkan komoditas primer. Belakangan ini industrialisasi dilakukan dengan penekanan pada hilirisasi komoditas.

Sumberdaya alam tetap menjadi pilarnya dengan komoditas-komoditas unggulan seperti batubara, sawit, nikel dan juga sarang penambangan ilegal (yang diindikasikan dengan impor merkuri yang cukup besar).

Kondisi pandemi memberikan kita situasi lingkungan yang lebih baik. Menjadi penting di balik kenaikan kelas, kita sanggup melakukan perubahan untuk menyajikan proses produksi yang lebih nyaman.

Apalagi di belakangan sudah ada sinyal bahwa dunia ini sedang menuju pemusnahan masal yang ke-6 dalam sejarah planet bumi. Maka perlu ada keseimbangan antara masyarakat, keuntungan dan bumi. Baru ekonomi bisa berkembang secara berkelanjutan.

Eusebius Pantja Pramudya adalah Sekretaris Pengawas Mindset Institute. Pantja Pramudya menyelesaikan pendidikan doktor ekonomi dari Wageningen University and Research (WUR), Belanda (2017). Selama ini, Pantja Pramudya banyak melakukan penelitian di bidang ekonomi dan sosial di Indonesia.