SAMBIL menekan emosi, di depan awak media, Kepala Badan Urusan Logistik (Kabulog) Budi Waseso menyampaikan informasi ke khalayak tentang siapa yang mendaulatnya mengimpor beras di tengah ketercukupan dan keamanan pangan dalam perspektif; Mentan, Syahrul Yasin Limpo dan Mendag, Muhammad Luthfi.
Mengapa Buwas tidak menolak perintah itu padahal punya dasar argumen kuat? Mengapa ia memilih melempar isu itu ke publik yang kini bergulir liar bak bola salju dan menjadi komoditas politik? Apa yang sejatinya terjadi?
Apapun ceritanya, isu impor beras itu dengan cepat disambar pasar dan sudah memakan korban. Mengoyak-ngoyak kehidupan dan ekonomi rumah tangga di kalangan para petani se Indonesia. Harga padi di pelbagai daerah amblek melebihi kondisi saat panen raya sebagaimana terjadi setiap musim panen di setiap tahun.
Celakanya isu itu muncul jelang Ramadhan dan dalam kondisi pandemi covid-19 yang melumpuhkan kehidupan dan belum sirna. Mimpi petani yang selama pandemi tak bisa mencari tambahan pendapatan karena larangan mobilitas agar dapur tetap mengepul dan kebutuhan lain bisa dipenuhi sehabis panen harus dipupus.
Isu impor beras dan jatuhnya harga padi merepresentasikan ketidakcermatan, ketidaktelitian, ketidakeseriusan, dan ketidakejujuran para penentu kebijakan dalam melihat persoalan di atas faktor lain yang mesti berpengaruh kuat tetapi berada di luar jangkauan manajemen.
Dalam konteks komunikasi dan manajemen kebijakan sikap semacam itu sangat tidak produktif. Sebelum membuat pernyataan dan membuat keputusan, ia wajib melihat persoalan secara mendalam dan menimbang matang-matang untung ruginya; dampaknya.
Dari arah lain kita diingatkan bahwa putusan ekonomi berbeda dari putusan politik. Putusan politik bisa direvisi berkali-kali bahkan ditarik ulang. Selain karena implikasinya tidak langsung mengena persoala hajat hidup, ia bisa dinegosiasikan secara relatif mudah, meski harus memanen cemooh.
Putusan ekonomi lain. Ia memiliki efek domino yang justru bisa melampaui masalah awalnya. Efek putusan ekonomi lazimnya akan berjalan secara berantai, kait-mengait baik horizontal maupun vertikal. Menarik ulang putusan ekonomi akan memerlukan waktu lama, bahkan mustahil dilakukan.
Di negeri ini, permasalahan ketidakcakapan dan inkonsistensi kebijakan kerap sekali dipertontonkan oleh para elite dan penentu kebijakan di level atas dalam sistem kekuasaan. Satu hal yang hanya memiliki satu alamat dan sosok yang akan dirugikan; rakyat kecil.
Masyarakat dan budaya Jawa memiliki ungkapan khas untuk mengilustrasikan bagaimana seorang penentu kebijakan membuat keputusan secara serampangan dan kehilangan konsistensi. Ungkapan sederhana, remeh, tapi memiliki daya sengat bagus, esuk dhele, sore tempe (pagi kedelai, sore tempe).
Akhirnya sekuat apapun, sekharismatik apapun, sejago apapun seorang presiden, ia bisa kehilangan wibawa, keabsahan, penerimaan sosio-psikologis, bahkan bisa tumbang karena ulah para pembantunya yang tidak cakap dan kehilangan kepekaan sosial. Sejarah negeri ini merekam banyak kasus tentang hal ini di masa lalu.