Wahyu Harjanto adalah Wakil Pengawas Mindset Institute. Wahyu Harjanto menyelesaikan pendidikan Master Ilmu Religi dan Budaya di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta (2013). Selama ini, Wahyu Harjanto banyak menulis dan melakukan penelitian mengenai isu demokrasi dan hak asasi manusia.

Goodbye Capit(o)al?

3 menit waktu baca

Jakarta, ibukota Indonesia
Jakarta, kota kebanggaan kita
Jakarta, hai kota metropolitan
Jakarta, penuh dengan keramaian

Gedungnya tinggi-tinggi, mencakar langit
Kotanya sangat indah, duhai selangit

Jakarta, ibukota Indonesia
Jakarta, kota kebanggaan kita

Apa yang Anda mau ada di sana
Dari garam sampai mobil paling mewah
Segala macam hiburan tersedia
Dari yang kelas kambing sampai utama

Jakarta… Jakarta… Jakarta…
Selalu melayani selera Anda

(“Jakarta”, Rhoma Irama)

______

Ungkapan di atas dinukil dari lirik lagu berjudul “Jakarta”, gubahan Wak Haji Rhoma Irama. Sebuah lagu yang disampaikan ke publik dalam genre musik dangdut bersama Om Soneta pendukung loyalnya pada kisaran tahun 70/80-an. Sebuah lagu yang, seperti biasa, begitu dilepas segera meledak di pasar musik tanah air.

Sebuah ledakan terjadi ketika musik dangdut masih butuh waktu lama untuk didendangkan di kalangan atas, dan belum mendapatkan ‘pengakuan’ publik sedemikian rupa sehingga layak disebut sebagai genre musik yang akan mewarnai khasanah musik Indonesia. Comberan, itulah stempel bagi musik dangdut dan pendendangnya.

Tetapi lihatlah baik-baik. Si comberan itu begitu kuat merekam dan memantulkan gambar. Persis seperti realitas film di dalam jagad fotografi – realis. Sehingga dengan mudah bisa dilihat adanya unsur tinggi – rendah. Ada gelap, ada terang. Ada lintang, ada bujur. Pendeknya ada goresan, warna, kontras, dan kedalaman di dalam lagu itu. Banyak hal yang menyarati aktualitas wajah Jakarta kini. Sebuah imago yang kiranya masih aktual dipercakapkan hingga saat ini.

Lanskap Jakarta diterangkan ke permukaan sebagai sebuah kota metropolitan yang begitu gagah, ramai, indah aduhai nan selangit, dan membanggakan di mata orang yang berada di dalam atau berkedudukan dekat dengannya. Sebuah kota impian (mengingatkan jargon jadul Ancol sebagai Taman Impian yang Jaya) bagi banyak orang yang secara Geopoleksosbud (geografi, politik, ekonomi, sosial dan budaya) jauh darinya.

Dalam hal ini “Jakarta” juga jelas bertutur, berkata-kata. Sebagai sebuah kota metropolitan, kata “Jakarta” tidak melulu besar secara ukuran atau luasan, melainkan kota yang siap menyediakan apa yang loe atau gue minta. Sigap bertanya tentang apa yang loe atau gue cari bahkan impikan. Mau garam? Ada! Mau mobil mewah? Ada! Mau lihat gedung yang merobek langit? Bisa! Tinggal mendongakkan kepala! Mau kaya, jadi orang terpandang, mari sini!

Suka atau tidak suka “Jakarta” tidak tengah berkata-kata layaknya biduan atau biduanita yang berkata tentang keriangan dan patah hati, seiring entakan rancak gendang ketipung. Di sini “Jakarta” tidak tengah bertutur dalam format isi dan warna suara recehan dan datar, tetapi sebaliknya mahal dan menghujam. Dalam hal ini, ia menyediakan diri untuk mengungkapkan hal lain.

Bersama lirik dan lagu, “Jakarta” sejatinya tengah mengkodekan sejumlah realitas yang sejauh ini tidak dibahasakan oleh masyarakat dan budaya metropolis Jakarta. Kode yang tidak akan pernah ditemukan dalam gegap ramai kota, solek indah tongkrongan sosialnya. Tidak juga pada julangan fisik gedung dan perkantoran, atau pada keserbaadaan situs-situs konsumsi bisnisnya yang selalu bertumbuh dan serba mencengangkan.

“Jakarta” dalam hal ini bisa dipakai untuk menjelaskan beberapa hal lain di luar dirinya. Tentang kemungkinan adanya cukong dan bandar yang bermain, tentang patgulipat subjek-subjek ekonomi dan politik yang bekerja tanpa hambatan, tentang penetrasi kapital hebat dan dampaknya, juga tentang konsumerisme yang meruyak. Pendeknya pelbagai hal yang membentuk wajah Jakarta mutakhir.

“Jakarta” menempatkan diri sebagai titik tumpu (springboard) bagi orang-orang yang mau dan suka mencari makna, mencari hikmah, di luar hal yang dikodekan dan dicangkokkan sebagai identitas masa kini Jakarta. Orang yang mau meluangkan waktu untuk melakukan distansiasi dengan realitas sehingga menangguk realitas lain.

Realitas lain yang tidak tampak meski sejauh ini diyakini banyak orang ada tetapi pura-pura tidak dilihat atau justru disembuyikan. Ia mengungkapkan pelbagai realitas yang berserak di balik keindahan, kemegahan, kegagahan, keramaian, keserbaadaan, kemetropolisan, dan impian Jakarta.

Untuk maksud terakhir di atas, realitas “Jakarta” harus disejajarkan dengan realitas sebuah bawang bombai. Satu dari banyaknya bumbu dapur yang memiliki kekhasan pada banyak lapisan penyangga dalam dirinya. Sebuah metafor yang menyarankan kita untuk memeriksa ulang realitas yang melingkupi masyarakat dan budaya dari dalam Jakarta. Dan untuk ke sana kita diharuskan mengelupas setiap kulit penutupnya satu demi satu.

Tudung penutup atau pelapis Jakarta yang berangkap selama ini disakralkan harus dikelipas. Selapis demi selapis hingga sampai lapis terakhir. Lapis terdalam dari realitas lain yang sejauh ini diyakini ada tapi tidak tampak muncul yakni hilangnya kewajaran dan humanitas!

Kewajaran dan humanitas Jakarta sebagai kota metropolitan diungkapkan secara satir oleh lagu ini agar bisa diperiksa ulang, didiskusikan, dan dinegosiasikan secara politik, ekonomi dan seterusnya. Layaknya sebuah ruang dan daya hidup yang harus tetap ada dan diusahakan agar tetap ada.

Hilangnya kewajaran dan humanitas Jakarta adalah sesuatu yang sangat disesalkan, karena keduanya sangat berharga demi kelangsungan masyarakat dan budaya Jakarta itu sendiri. Dua hal yang jika sampai musnah dipastikan akan menempatkan Jakarta tidak ubahnya hunian kosong, sepi, dan dipenuhi dengan zombie.

Lagu ini secara cerdas dan artistik mengingatkan hal serius berupa adanya politik pembiaran dan pengawetan keadaan yang luput dari tatapan mata orang, tetapi ngendon lama dalam sistem sosial dan budaya kota. Satu tren yang secara sengaja direproduksi dan diawetkan terus menerus demi gagasan dan impian tentang modenitas dan seribu satu dalih lainnya.

“Jakarta” juga mengingatkan orang akan sesuatu yang tidak ada tetapi ada di tempat lain, yaitu keindonesiaan Jakarta! Satu gagasan yang melampaui pengertian Jakarta sebagai sebuah kota, bentang geoteritori, birokrasi dan statusnya sebagai ibu kota negara. Sebuah peringatan tentang hilangnya keindonesiaan di dalam seonggok Jakarta.

Belakangan, Jakarta yang (meminjam istilah Iwan Fals) “sudah habis” oleh rezim politik, administrator, birokrasi pendukungnya divonis sudah mati. Semacam nekropolis dalam teori dan sejarah pertumbuhan kota dalam tradisi sosiologi. Satu hal yang memunculkan wacana tentang pemindahan ibu kota ke Kalimantan.

Berpangkal pada riwayat kematian Jakarta semacam itu, banyak orang menaruh harapan tinggi, yakni bahwa gerak maju Kalimantan sebagai bakal ibu kota masa depan. Gagasan ini selayaknya tidak diletakkan pada ambisi dan format pembangunisme yang getol dengan isu pertumbuhan dan perkembangan fisikal, tetapi buta dan tuli pada hal yang tak wajar, dehumanisasi, dan abai terhadap gagasan keindonesiaan sebagai ruang hidup bersama.

Jika kepastian semacam itu tidak diletakkan di awal dan tidak bisa dijamin, maka dosa dan laknat pemangku jagad raya atas rezim dan para pemetik kepentingan dari proyek relokasi ibu kota ini sudah pasti akan bertumpuk sedari dunia dan akhirat!

Harus dipahami juga bahwa gagasan tentang relokasi tidaklah sama dan identik dengan pemindahan masalah atau persoalan lama ke lokasi lain. Belum lagi Kalimantan bukanlah hutan perawan sebagaimana digambarkan di dalam komik.

Ia sejatinya sudah punya masalah yang tidak kecil seperti, ini yang paling menonjol, degradasi lingkungan alam sebagai buah dari deforestasi yang dilakukan oleh para pebisnis nasional dan multinasional. Masalah yang berakar pada pembangunisme. Tabik!

(*) Tulisan ini dikembangkan dari status penulis di Facebook, Goodbye Capital (27/08/2019).

Wahyu Harjanto adalah Wakil Pengawas Mindset Institute. Wahyu Harjanto menyelesaikan pendidikan Master Ilmu Religi dan Budaya di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta (2013). Selama ini, Wahyu Harjanto banyak menulis dan melakukan penelitian mengenai isu demokrasi dan hak asasi manusia.

Jilbab, Negara, dan Kemerdekaan Indonesia

Penulis: Kamil Alfi Arifin Pemaksaan melepas jilbab bagi anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) Nasional 2024 oleh Badan Penanaman Ideologi Pancasila (BPIP) telah mencederai...
Mindset Institute
14 detik waktu baca

Pidato: Menakar Kuasa Destruktif Kreatif

Di dalam dunia yang terus berubah, orang seringkali diminta untuk kreatif dan inovatif. Namun kreativitas ini dapat berakibat destruktif. Prof. Aloysius Gunadi Brata membahas...
Mindset Institute
16 detik waktu baca

Interview with Taring Padi: vanguardism, creativity, symbols, and the…

Penulis: Heronimus Heron & Min Seong Kim Abstract A work by the Indonesian artist collective Taring Padi titled People’s Justice caused great controversy during...
Mindset Institute
24 detik waktu baca