Nalar kebijakan negara belumlah cukup terbuka, responsif dan solid untuk mensikapi problem serius ini. Inisiasi gagasan yang sudah jauh diperjuangkan dan diusulkan sejak 2016 akhirnya harus terseok dan kandas kembali.
Rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR, DPD dan bersama pemerintah pada tanggal 2 Juli 2020 telah sepakat untuk menganulir 16 Rancangan Undang-Undang (RUU) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020, dan salah satunya adalah tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS).
Apes dan gagalnya pembahasan legislasi semakin menjadi bukti bahwa negara sendiri masih tidak memiliki komitmen serius terhadap persoalan kekerasan seksual yang memprihatinkan ini. Ketiadaannya jaminan perlindungan negara, potensi kekerasan seksual tentu saja akan semakin sulit terurai dan terpecahkan dengan baik.
Nasib para korban akan semakin terpuruk dan sulit untuk menemukan jalan kepastian hukum dan keadilan. Status hukum yang masih ada seperti di kitab hukum pidana (KUHP) menunjukkan fakta bahwa penyelesaian perkara kekerasan seksual masih sangat bias dan terbatas.
Kelemahan substansi hukum yang ada menyebabkan problem kekerasan seksual tak menguntungkan dan memihak pada korban. Kecuali maksud orientasi untuk mencegah aspek kriminalisasi atas korban, saksi dan pendamping korban, RUU P-KS sendiri lebih banyak dimaksudkan untuk menekan angka kasus kekerasan seksual yang semakin luas berkembang dengan berbagai modus dan jenisnya.
Dalam catatan tahunan (Catahu) Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (2020) mencatat ada setidaknya 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan. Dalam kurun waktu 12 tahun, angka kekerasan terus melonjak hingga 792%. Angka kekerasan terhadap anak perempuan juga mengalami peningkatan 2.341 kasus, sementara tahun sebelumnya yakni 1.417 kasus.
Peningkatan ini juga terjadi pada angka kasus kejahatan siber, seperti dalam kasus penyebaran video atau foto korban. Angka korban kekerasan seksual terhadap perempuan disabilitas juga mengalami kenaikan yang cukup meresahkan.
Sejak awal RUU P-KS didesakkan oleh sebagian besar pihak yang mendukungnya, ia diupayakan untuk memberi dukungan dan perjuangan dalam beberapa hal penting: pertama, sebagai upaya untuk memberi jaminan dan dukungan terhadap keluarga dan korban terutama proses rehabilitasi (pemulihan) dari negara.
Kedua, Para pelaku kekerasan seksual sendiri dalam item RUU ini juga mendapatkan rehabilitasi. Ketiga, mendorong usaha kejelasan dan kepastian pemidanaan terhadap jenis-jenis kekerasan seksual yang selama ini sering luput untuk dijangkau oleh hukum.
Keempat, RUU P-KS ini juga lebih mengupayakan kepastian dan jaminan perlindungan terhadap para korban kekerasan seksual yang selama ini sering diabaikan hak-haknya secara berkeadilan.
Melihat fakta ini, kandasanya RUU P-KS sekaligus menandakan makin terbukanya lorong panjang atas potensi berbagai kekerasan seksual yang akan muncul. Setidaknya bisa dikatakan bahwa nasib setiap perempuan, anak perempuan, dan siapapun akan bisa berpotensi menjadi korban dan sekaligus tidak mendapatkan asas keadilan yang memadai.
Melihat kenyataan ini, maka secara serius tentu perlu langkah mendesak dan strategi baru kembali yang lebih kuat dalam mendorong perjuangan gagasan ini. Setidaknya pula perlu untuk mencari berbagai alternatif siasat gerakan lebih kuat yang mampu memberi tekanan yang semakin kuat untuk usaha mendorong legislasi RUU P-KS ini.
Untuk itu, MINDSET Institute pada hari Jumat 31 Juli 2020 mengadakan diskusi “Kandasnya RUU P-KS: Lorong Panjang Kekerasan Seksual” yang menghadirkan Sri Nurherwati (Komisioner Komnas Perempuan 2009-2019), Basilica Dyah Putranti (Peneliti PSKK UGM) dan Erna Wati (Api Kartini dan Aktivis Perempuan Yogyakarta) dengan moderator Heronimus Heron (Peneliti MINDSET Institute).
Nurherwati dalam paparannya berjudul “Wira Wiri RUU Pungkas yang Harus Diakhiri” menceritakan RUU P-KS sudah disiapkan mulai tahun 2001 dan diusulkan ke DPR tahun 2015. Saat penyusunan draf dan naskah akademiknya telah melibatkan korban, pendamping, tokoh agama, organisasi masyarakat, anggota DPD sampai partai politik.
Dalam diskusi-diskusi ditemukan 15 bentuk kekerasan seksual sehingga RUU dirancang berpihak pada korban. Harapannya bisa memperhatikan akses keadilan dan kemudahan bagi korban. Melalui RUU P-KS juga dirancang supaya memudahkan penegak hukum bekerja.
RUU P-KS dibuat sebagai hukum pidana internal bukan hukum administratif. Penggunaan frasa kekerasan karena ini dimungkinkan mengakomodir berbagai bentuk kekerasan seksual. Sementara para penolak mengusulkan frasa kejahatan, namun frasa kejahatan sudah ada di KUHP.
Bagi Nurherwati, RUU ini melengkapi hukum yang ada sekarang supaya memudahkan korban mengakses hukum dan memberikan keadilan bagi korban. Tujuan akhirnya untuk mengakhiri diskriminasi karena itu persoalan yang sangat krusial dalam menciptakan asas keadilan.
Erna mengingatkan bahwa perlu juga melihat perjalanan proses RUU P-KS dari pengajuan naskah akademik sampai di DPR. Pemerintah baru mengirimkan delegasinya membahas RUU ini di tahun 2019. Artinya kita belum terlalu kuat mendorong diproses politiknya.
RUU P-KS baru dikenal oleh NGO, mahasiswa, organisasi masyarakat, namun belum menyentuh sampai ke lapisan masyarakat di bawah. Bahkan banyak dari warga yang belum paham apa itu RUU P-KS, apa pentingnya, dan kenapa kita mendorong DPR melakukan pembahasan mengenai RUU ini dan menjadikannya undang-undang.
Menurut Erna, kita juga perlu mengandeng aparat penegak hukum karena mereka yang akan melakukan penegakan hukum bagi pelaku kekerasan seksual.
Basilica dalam paparannya berjudul “Membaca Konteks Kandasnya RUU PKS” menyampaikan jika kita memahami substansinya maka tidak ada alasan untuk menolak RUU ini.
Kalau kita melihat kelompok yang menyampaikan keberatan RUU P-KS misalnya di definisinya karena dianggap tidak sesuai dengan agama, Pancasila dan budaya ketimuran yang menciptakan budaya permisif yang dapat merusak lembaga perkawinan.
Padahal bagi Basilica, definisinya memberikan jaminan perlindungan bagi perempuan supaya tidak membuatnya menderita secara fisik, psikis, seksual, ekonomi, sosial, budaya, dan politik.
Untuk itu, kita perlu membangun kesadaran bersama misalnya dengan perempuan masyarakat adat dan agama. Karenanya perlu ada strategi kebudayaan supaya bisa menjadi kesadaran bersama pentingnya perlindungan bagi perempuan.