Pengelolaan kehidupan bersama yang mencakup keterpaduan berbagai nuansa selaras, harmonis, saling menghargai, saling percaya, dan penuh tepa slira, relatif kurang terajut dalam satu kesatuan secara utuh lagi.
Seiring dengan perkembangan waktu, keterpaduan tersebut sudah semakin tergerogoti oleh persinggungan, perjumpaan, pergumulan, atau bahkan penaklukan oleh kekuatan sosial-budaya non-lokal. Dalam konteks ini, berbagai perbedaan kepentingan dan sudut pandang juga semakin kurang terajut dalam nuansa keharmonisan bersama.
Kehidupan harmonis menyangkut keseimbangan dan keterpaduan relasi antara manusia dengan sesama, dengan alam, dan dengan Sang Pencipta. Bahkan keseimbangan dan keterpaduan antar ketiga relasi tersebut. Nuansa kehidupan semacam ini relatif mengakar kuat dalam warisan pengelolaan kehidupan bersama dari nenek moyang bangsa ini.
Perjumpaan berbagai kekuatan, baik lokal maupun non-lokal, perlu disikapi secara cerdik dengan mengutamakan nuansa padu serasi dan berimbang. Dalam konteks ini, kekuatan sosial-budaya lokal tidak terdominasi (tertaklukkan) oleh kekuatan sosial-budaya non-lokal atau sebaliknya.
Tata kelola kehidupan masyarakat lokal yang bernuansa harmonis secara padu, perlu dibangkitkan dan dihargai kembali agar dapat hadir sebagai “warna” khas bangsa ini dan dapat terus melekat dalam imajinasi dan kebanggaan para warganya.
Kampung dan Desa
Kita memang sudah mempunyai terminologi kampung dan desa budaya, wisata, dan Pancasila, namun pengelolaan dan kegiatan di dalamnya tampaknya kurang menyentuh tata kelola kehidupan harmonis secara padu. Barangkali perlu diupayakan model kampung dan desa padu serasi yang kehidupan bersamanya dikelola secara relatif harmonis dan berimbang.
Terminologi untuk model kampung dan desa ini disesuaikan dengan konteks harmonis dan selaras dari kehidupan bersama di masing-masing wilayah atau bahkan tetap bisa sinergi dengan istilah kampung atau desa budaya dan wisata yang sudah ada.
Sejarah mencatat bahwa pengelolaan kehidupan bersama di masing-masing wilayah relatif lebih menekankan pada nuansa relasi harmonis dengan sesama, alam, dan Sang Pencipta. Dalam nuansa seperti ini, model kampung dan desa padu serasi akan merengkuh, merawat dan memberi bobot pengelolaan kehidupan sehari-hari.
Kehidupan kampung atau desa masih relatif lekat dengan nuansa, seperti kerukunan bersama, basis ketetanggaan, kepedulian, kerja sama, nilai-nilai persaudaraan, dan rengkuhan terhadap orang lain yang berbeda.
Terminologi lokal yang telah diwariskan oleh pendahulu masing-masing wilayah bisa mewadahi kata toleran, multikultur, harmonis, dan penghargaan terhadap keberagaman yang justru merupakan terminologi “non-lokal”. Dengan demikian, upaya untuk merawat nuansa kehidupan bersama dalam konteks sosial-budaya masing-masing dapat dirasakan basis lokalitasnya.
Percontohan
Kebudayaan bukan sekedar wujud yang tampak dan mempertontonkan tampilan, keindahan, atau cita rasa untuk dinikmati orang lain. Namun basis-basis yang terkandung dalam suatu wujud kebudayaan tersebut dapat mengisyaratkan pengelolaan kehidupan bersama para pendukungnya yang complicated sekaligus terpadu.
Perlu langkah nyata dan strategis dalam mewujudkan sekurang-kurangnya satu kampung atau desa sebagai pilot project di masing-masing wilayah Indonesia. Dalam konteks ini, seseorang akan lebih tertuntun imajinasinya untuk memahami apa yang ada di balik wujud yang tampak. Proses perubahan waktu akan mengarahkan seseorang dalam melakukan proses perubahan pola pikir tentang imajinasinya terhadap kehidupan bersama.
Keharmonisan kehidupan masing-masing kampung atau desa ini diharapkan dapat melekat dalam hati sanubari dan pola pikir seseorang. Penghargaan terhadap kebijaksanaan tata-kelola kehidupan lokal dapat membangkitkan kebanggaan terhadap kebijaksanaan sosial-budaya lokal.
Dalam konteks ini, perubahan pola pikir masyarakat juga menjadi nyata, bukan sekedar istilah normatif yang jauh panggang daripada api. Tata kelola kehidupan harmonis, seperti kampung dan desa, dapat menjadi benteng-benteng kehidupan bersama yang kokoh bagi bangsa ini.