Namun, secara historis, kar tel menunjuk perilaku partaipartai politik (parpol) yang berkoalisi demi kepentingan mereka. Tepatnya, ini mu la nya merujuk pada koalisi an tara parpol-parpol konservatif dan nasional liberal di Jerman pada 1880-an, baru kemudian ke segala bentuk koalisi politik dan belakangan makin sering dipakai dalam urusan kese pa katan “gelap” dalam per da gang an. Selesainya pemilihan pre siden (pilpres), yang di me nangkan oleh Jokowi-KH Ma’ruf Amin pun ditengarai tidak luput di ikuti pula dengan meru yak – nya kartelisasi politik.
Kasakkusuk perebutan posisi jabatan publik, pada berbagai level, di – tambah lagi mendekatnya be – berapa komponen dari kubu lain, memberikan sinyal ada – nya, atau akan adanya, praktik kartel politik. Adalah kenyataan bahwa parpol di sini kendati pun kalah da lam kompetisi politik ti dak – lah lantas menjadi oposisi yang sebenarnya. Inilah yang sering disebut sebagai hasil aneh dari demokrasi elektoral di Ind onesia karena tidak seperti di tem – pat lain. Tidak ada parpol opo – sisi yang siap menggantikan pemerintahan, dengan im pli – ka si lanjutan bahwa ketika pe – me rintah berjalan secara se – ram pangan, tidak ada jalan yang lebar bagi para pemilih un – tuk menghentikannya.
Politik “membuka pintu” ba gi la wan, di satu sisi dapat membuahkan stabilitas politik yang le bih nyaman. Namun, secara ber samaan langkah ini juga mem buat pintu bagi me – nguat nya kartel politik. Alihalih sa ling meng awasi atau sa – ling ber kom petisi, partai-par – tai politik justru menyublim menjadi satu dalam satu ke – pentingan ber sa ma yang me – nya markan ke pen tingan par – sial berperspektif jangka pen – dek, misalnya, demi me mas ti – kan ja lan di kompetisi politik be berapa tahun men datang. Dan Slater (2018) menyebut kartel politik di Indonesia sangat berbeda dengan yang ter – jadi di tempat lain, terutama di Eropa.
Bahkan, tak ada niat serius untuk secara kon sisten menjadi partai oposisi sejati. Tidak mengagetkan pula saran kabinet zaken ditolak oleh TKN Jokowi-Ma’ruf, de ng – an alasan memberikan kesan bu ruk bagi orang-orang parpol. Dengan sendirinya penolakan ini tidak membuka peluang yang cukup bagi para pro fe sio – nal menduduki kursi kabinet. Artinya, penyusunan kabinet terbuka untuk menjadi arena realisasi kartel politik dengan melimitasi kebebasan presiden terpilih untuk menyusun kabi – net nya. Hampir bisa dipas ti – kan, belajar dari yang terjadi se – be lumnya, kabinet yang pe nyu – sunannya sangat beraroma kar – tel politik akan mudah ter ge lin – cir ke dalam kubangan-ku ba ng – an busuk yang memang dituju.
Maka, limitasi kartel politik ter sebut menjadi demikian ur – gen. Lebih-lebih lagi dengan ma sih akan besarnya sumbersumber ekonomis yang terbuka untuk diperebutkan dan dibagiba gi di antara anggota kartel. Proyek-proyek infrastruktur besar pasti akan berlanjut ken – dati disertai dengan penekanan pada pembangunan aspek-as – pek lunak: sumber daya ma nu – sia (SDM). Proyek pemindahan ibukota Jakarta ke satu tempat, mungkin di Kalimantan, mi sal – nya, pastilah ada dalam radar para anggota kartel. Bisa di ba – yang kan, bagaimana bakal se – ru nya distribusi akses dan sumber-sumber ekonomis da – lam proyek tersebut.
Larangan membuka data pemilik Hak Guna Usaha (HGU) ke bun kelapa sawit dengan ala – san melindungi kekayaan na sio – nal, bisa pula dibaca sebagai up a – ya merawat soliditas kartel po – litik yang ada. “Keterbukaan” atas data semacam ini terbukti hanya berguna di masa kam pa – nye semata yang kemudian jus – tru menjadi terang bahwa taipan-taipanHGUadadimanamana. Larangan itu meng abai – kan keputusan Mahkamah Agung tahun 2017 lalu yang me – me rintahkan agar daftar para pemegang HGU (nama, lokasi, luas lahan, peta area, hingga jenis komoditas yang dihasilkan di atas lahan tersebut) dibuka kepada masyarakat.
Bahkan, buka-tutup data tersebut bisa jadi mencerminkan kepenting – an-kepentingan yang lebih luas atas rente ekonomi kelapa sawit. Tanpa limatasi itu, akan ma – kin kuat kesan bahwa ada ke se – nga jaan menahan perbaikan atau perkembangan demokrasi di Indonesia. Kesimpulan Tho – mas Power (2018) misalnya, penting untuk digarisbawahi, yakni pemerintahan Jokowi ma kin fasih memainkan the institutions of the state, seperti penegakan hukum dan urusan keamanan, sebagai instrumeninstrumen politik yang paling tersedia dan paling efektif untuk “mengatur” permainan.
Siapakah yang harus mengambil langkah pertama dan utama untuk melakukan limitasi kartel politik tersebut? Bisakah presiden terpilih, yang hampir bisa dipastikan adalah Jokowi melakukan hal ini? Entahlah, terutama proses-proses yang ter jadi tidak lepas pula dari “per tarungan” antartokoh (mili ter) masa sebelumnya.[]