Penulis: Kamil Alfi Arifin Menyelesaikan pendidikan pascasarjana Kajian Budaya dan Media UGM, dan peneliti MINDSET Institute
“Kalau kita belum pasti mendapatkan surga kita sendiri, kenapa kita sibuk mengurusi neraka orang lain?”
Saat membaca komentar-komentar “mengerikan” warganet atas kasus video porno seorang artis, saya tiba-tiba teringat dengan kutipan dari dialog film Ave Maryam di atas. Komentar-komentar mereka penuh cacian, makian, bulian, hinaan, stereotip yang merugikan perempuan, bahkan viktimisasi terhadap perempuan. Mereka tak ubahnya “pelempar batu yang suci pada seorang pezinah”.
Menurut saya, komentar-komentar seperti itu tidak bisa dilepaskan sepenuhnya dari cara kerja media memberitakan kasus tersebut. Dalam kasus ini, media tidak mampu memilah mana ranah privat dan mana ranah publik. Media lebih banyak memberikan penekanan pada perkara di luar masalah hukum. Media daring sekelas CNN Indonesia, misalnya, bisa menulis berita dengan serenteng judul berikut: “Gisel Tersangka Kasus Pornografi, Gading Trending”, “Roy Marten Soal Gisel Tersangka: Gading Pasti Kepikiran”, “Gisel Minta Maaf ke Anak: Mama Jauh Dari Sempurna”.
Lihat juga judul berita dari media-media daring lain: “Roy Marten: Kasihan Gempi, Belum Tahu-tahu Apa-apa Masalah Ibunya”, “Ada Video Panas Mirip Gisel, Netizen Mikir Nasib Gempi”, “Gisel Akui Rekam Video Syur Saat Masih Jadi Istri Gading Marten”, “Roy Marten Ungkap Perasaan Putranya Saat Tahu Video Syur Gisel dengan MYD: Gading Tersakiti Terluka”.
Hal semacam sebetulnya sering terjadi pada kasus-kasus lain. Sebut saja, misalnya pemberitaan kasus video porno Ariel-Luna Maya. Dewan Pers menilai pemberitaan media atas kasus terkait didominasi oleh hal-hal yang hanya layak didiskusikan dan dikupas dalam ruang privat (Dewan Pers, 2010). Contoh lain yang bisa dikemukakan, pemberitaan media atas kasus korupsi yang melibatkan perempuan.
Sebuah riset yang dilakukan oleh Hadiati, Irwan Abdullah dan Wening Udasmoro (2013) menunjukkan pemberitaan mengenai pelaku korupsi perempuan (kasus Angelina Sondakh) sering keluar dari konteks dan substansi kasus korupsinya. Media sibuk memberitaka hal yang remeh-temeh dan personal seperti kostum, make-up, gaya rambut saat menghadapi persidangan. Walhasil, media mudah tergelincir pada pemberitaan yang bias gender.
Ranah Privat dan Publik dalam Kasus Pornografi
Pemisahan antara yang privat dan yang publik sebenarnya merupaka hal yang dijunjung dalam tradisi media pers. Dalam studi jurnalisme dan media, yang publik dianggap sebagai sesuatu yang suci dan sakral, tidak boleh dicemari dengan urusan-urusan privat. Saking pentingnya yang publik dan yang privat tidak tercampur satu sama lain, keduanya bahkan dikataka harus dipisahkan dengan prinsip dinding api (firewall) (Harsono, 2010).
Lebih-lebih, media massa juga biasa ditempatkan sebagai sebuah forum publik di mana semua pandangan dan ideologi di dalam masyarakat bisa diperdebatkan dan didiskusikan secara leluasa (Heywood, 2013). Media menjadi tempat di mana semua orang bisa mempercakapkan semua urusan sepanjang ia bersifat publik dan bukan masalah privat.
Namun, seiring menguatnya media-media baru berbasis internet seperti media sosial, batas antara yang privat dan yang publik menjadi kabur. Tergiur mengejar klik, share dan trafik, media daring menjadi sarana mengeksploitasi ruang privat. Dengan orientasi seperti itu, jurnalisme media daring menjadi jurnalisme asal seru dan saru (Dharmasaputra, 2011).
Dampak pemberitaan kasus video porno itu sendiri kini bukan saja penuhnya ruang publik denga hal-hal personal yang nir-faedah bagi kepentingan umum. Pembingkaian kasus ini sebagai isu personal, lebih jauh, merugikan perempuan dan mengekalkan pandangan dominan tentang mereka sebagai sumber masalah serta kerusakan moral. Judul-judul beritanya terang-terangan memosisikan subyek video sebagai perempuan binal, tukang selingkuh, tidak sayang anak, dan perusak rumah tangga. Subyek didefinisikan menggunakan kacamata dan sudut pandang laki-laki, misal dengan menjadikan mantan mertua sebagai narasumber utama berita.
Hal yang juga nampak gamblang pada pemberitaan media: subyek video, yang adalah perempuan, diposisikan bukan sebagai korban tapi sebagai pelaku. Padahal, dengan tersebarnya video tersebut, yang bersangkutan sudah banyak mengalami kerugian, baik material dan psikis. Nama dan citra baiknya yang jelas hancur-lebur. Ia adalah korban yang sangat dirugikan oleh pihak yang menyebarluaskan videonya ke publik.
Ruang Publik Media Patriarkat
Sebenarnya, saat muncul kasus pornografi, media bisa memantik—dan menyediakan ruang seluas-luasnya bagi—pandangan dan perdebatan tentang pornografi. Apa itu sebetulnya pornografi? Apakah pornografi itu memang merusak moral masyarakat? Jika memang merusak moral masyarakat, siapa yang sepantasnya dihukum dalam kasus pornografi? Apakah kebijakan terkait pornografi sudah benar-benar adil selama ini?
Perbincangan tentang pornografi sejatinya tidak mudah dan rumit. Lynne Segal (dalam Gibson dan Gibson, 1983) memetakan setidaknya ada tiga posisi dalam memandang pornografi. Posisi liberal, pertama-tama, tidak percaya bahwa pornografi merugikan dan merusak moral masyarakat. Secara etis, yang diperlukan adalah pembatasan (bukan larangan) pornografi untuk menjaga kepentingan sebagian yang merasa terganggu dengannya.
Sementara itu, posisi kedua berseberangan dengan posisi liberal. Posisi kedua meyakini bahwa pornografi merupakan ancaman serius bagi tatanan nilai-nilai moral tradisional keluarga. Lantas, posisi ketiga, posisi feminis, sebenarnya juga menentang pornografi. Tapi posisi ketiga berada di luar perdebatan kedua posisi sebelumnya. Di satu sisi, posisi feminis memandang pornografi sebagai bagian dari seksisme, eksploitasi, bahkan tindak kekerasan yang merugikan perempuan. Dalam dunia pornografi, sirkulasi produksi dan konsumsinya dikuasai oleh laki-laki. Di sisi lain, posisi feminis memperjuangkan ekspresi seksualitas yang berpusat pada perempuan.
Pertanyaannya, di mana posisi media di antara ketiga posisi tersebut dalam mengetengahkan isu pornografi ke publik? Nampaknya, mereka masih berusaha mengeksploitasinya sebagai isu personal semata dan secara seragam merepetisi posisi kedua. Dari pemberitaan kasus video porno terakhir, media cenderung melihat kasus pornografi dari standar moral yang hitam-putih dan misoginis. Mereka mengeksploitasi ranah privat serta bias gender lantaran mengekalkan pandangan dominan tentang perempuan sebagai sumber dekadensi moral.
Betapapun selepas Orde Baru media mengalami proses liberalisasi yang hebat, sampai saat ini struktur dan ekosistemnya masih patriarkat.