Oleh: Engelbertus Viktor Daki (Mahasiswa STF Driyarkara)
Korupsi di Indonesia sudah menjadi wabah yang tak kunjung menemui obatnya. Sangat sering kita mendengar berita mengenai beberapa pejabat melakukan praktik haram ini. Bahkan, di saat negara sedang diserang pandemi Covid-19, Menteri Sosial, Juliari Batubara dengan berani mengambil keuntungan dari dana bantuan sosial.
Menurut penulis, membicarakan persoalan korupsi bukanlah hal mudah. Alasan orang melakukan korupsi amat beragam. Orang yang terlihat taat beragama pun rentan dengan hal ini. Kita bisa melihat banyak pejabat yang melakukan korupsi merupakan orang-orang beragama.
Menengok Tiongkok
Beberapa dekade lalu, Tiongkok merupakan salah satu negara terkorup di dunia. Korupsi terjadi secara masif. Pada tahun 1980-an, Pemerintah Komunis Tiongkok kemudian mengobarkan perang terhadap korupsi. Ribuan koruptor di bawa ke pengadilan dan divonis dengan hukuman berat, seperti di penjara dalam waktu yang lama hingga hukuman mati.
Pengadilan ini tegas. Siapapun diadili, baik pejabat pemerintah, pejabat Partai Komunis Tiongkok, maupun anak-anak dan keluarga mereka. Sosok hakim keras dalam legenda Tiongkok seperti Bao muncul di ruang-ruang pengadilan.
Perdana Menteri Tiongkok, Zhu Rongji (1998-2003) memberi pernyataan yang kemudian dikenal banyak orang di dunia, “sediakan sepuluh peti mati bagi saya kelak! Itu jika di akhir jabatan nanti, saya terbukti melakukan korupsi” (Kamil, Mengubah Dunia Bareng-Bareng, 2015).
Pemerintahan Zhu Rongji menuaikan hasil. Para pejabat Tiongkok mulai berpikir puluhan kali untuk mencuri uang negara. Jika masih ada yang korupsi, maka taruhannya ialah hukuman mati. Pada bulan April 1995, Wang Baosen seorang Walikota Beijing memilih bunuh diri ketika ketahuan korupsi, daripada menanggung malu diadili dan dieksekusi tentara rakyat. Pemerintah menegakan hukum tanpa pandang bulu.
Chen Xitong, mantan sekretaris Partai Komunis Tiongkok di Beijing dituntut ke pengadilan karena melakukan tindakan korupsi. Chen dipecat dari jabatannya sebagai sekretaris partai, dan dikeluarkan dari Partai Komunis Tiongkok. Dalam suatu skandal penyuapan, anak lelaki dan asisten pribadi Chen juga dihukum 12 dan 15 tahun penjara.
Kita bisa melihat Tiongkok cukup tegas dalam hal ini. Meskipun demikian, perlu dipertanyakan, apakah pemberantasan korupsi di Tiongkok adalah semata-mata demi penegakan hukum ataukah ada unsur politiknya?
Praktik pemberantasan korupsi di Tiongkok jika diamati secara tajam, maka terlihat ada unsur politiknya. Mereka yang tertangkap dan dihukum memang pelaku tindak pidana korupsi, namun mereka adalah orang yang berseberangan dengan penguasa. Para koruptor yang dekat dengan penguasa seringkali tidak tersentuh oleh hukum.
Hal ini menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi tidak bisa dilihat secara hitam putih. Namun, hukuman berat bagi koruptor tetap diperlukan sebagai terapi kejut bagi para pejabat supaya mereka tidak sewenang-wenang dalam mengemban amanat rakyat.
Sesungguhnya Indonesia tidak jauh berbeda dengan Tiongkok dalam hal korupsi. Bedanya, pemberantasan korupsi di Indonesia terasa tidak bergigi, seperti macan ompong yang tidak memberikan efek terapi kejut bagi para koruptor. Mereka bahkan dilindungi oleh penegak hukum.
Seandainya pun dihukum, hukumannya diberi diskon dengan alasan konyol, misalnya Juliari Batubara yang hanya dihukum 12 tahun penjara dengan alasan dia sudah menerima hukuman sosial berupa caci maki warganet. Para koruptor tidak punya rasa malu, karena sudah ketahuan korupsi masih tersenyum dan bahkan memohon keringanan kepada hakim.
Korupsi sebagai Invented Crime
Daniel Dhakidae dalam artikelnya berjudul Korupsi dalam Relasi Modal dan Kuasa (2018) di Jurnal Prisma menulis korupsi adalah kejahatan yang ditemukan, invented crime dalam peradaban manusia. Pencurian adalah gejala asali, setelah pembunuhan. Korupsi adalah gejala modern yang berkembang bersama kehidupan masyarakat yang makin kompleks, sedangkan pencurian melekat dalam manusia.
Menurut Dhakidae, korupsi terjadi dalam birokrasi yang membentuk sistem negara. Pada proses itulah mulai dibedakan private and public properties, harta benda pribadi dan publik. Ketika individu mengambil dan mengalihkan harta publik menjadi milik pribadi, maka disebut sebagai korupsi. Dengan demikian, istilah korupsi menjadi dikenal publik.
Apabila ada orang secara diam-diam menyimpan harta benda milik orang lain demi keuntungan pribadi, maka disebut lucri faciendi causa. Tindakan tersebut didefinisikan sebagai perbuatan pencurian. Perbuatan ini dalam istilah Latin disebut furtum.
Konsepsi Korupsi
Herry Priyono dalam Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi (2014) menulis beberapa konsep korupsi menurut para filsuf. Thomas Hobbes memahami korupsi dalam bingkai kehidupan politik dengan dasar kontrak sosial. Korupsi selalu berciri politis sebagai sikap dan perbuatan penguasa, pejabat, dan warga yang membusukkan tatanan sehingga mendatangkan kekacauan.
Montesquieu menyebut korupsi sebagai rusaknya tatanan republikan, entah di dalam monarki, aristokrasi, maupun demokrasi. Dalam pemikiran Adam Ferguson dengan bernostalgia pada tradisi masa lampau, korupsi kembali dipahami sebagai bentuk kemerosotan moral.
Sementara Adam Smith memahami korupsi sebagai praktik monopoli dan hak istimewa yang merusak tatanan dunia baru yang didasari pada aspirasi kesetaraan, seperti putusan pengadilan yang ditentukan melalui suap, regulasi bagi praktik monopoli, patronase, nepotisme, kartel pemburuan rente, sampai insider trading.
Penulis harus mengakui definisi korupsi sangat sulit dan kompleks. Meskipun demikian, penting untuk digarisbawahi bahwa korupsi merupakan sebuah tindakan pencurian dan kejahatan. Oleh karena itu, korupsi perlu diberantas.
Korupsi di Indonesia
Korupsi di tanah air bukanlah hal baru. Yacob Dharwis, Subkoordinator Pusat Studi Arsip Pemberantasan Korupsi, dalam wawancara dengan Mediaindonesia.com (25/04/2021) mengatakan “kasus korupsi di Indonesia sudah ada sejak era Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Hal itu terlihat dari laporan VOC tentang korupsi di berbagai daerah, baik dilakukan oleh bupati atau orang-orang di pemerintahan Kolonial Belanda”.
Todung Mulya Lubis, dalam Political Corruption in Indonesia (2017) menuliskan, perjalanan sejarah Indonesia penuh dengan korupsi yang mencapai puncak pada zaman pemerintahan Orde Baru.
Artidjo Alkostar dalam Korupsi Politik di Negara Modern (2008) juga menulis, perkawinan antara penguasa dengan pengusaha menjarah kekayaan rakyat selama 32 tahun masa kepemimpinan Soeharto telah membuat Indonesia tertelan krisis yang akhirnya harus diselamatkan oleh IMF dan Bank Dunia.
Pada era Reformasi, korupsi pun berlanjut. Ada kasus Bank Century, proyek KTP elektronik yang menjerat beberapa politikus dan pejabat, seperti Setya Novanto, dan sebagainya. Kasus yang aktual dan membuat publik marah ialah korupsi dana bantuan sosial (Bansos) yang menyeret Juliari Batubara dan orang di sekitarnya.
Itu baru kasus-kasus besar. Belum lagi kasus-kasus di tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan, desa, sampai yang terkecil seperti RT/RW. Artinya, korupsi di tanah air sudah menjadi penyakit yang menyerang semua tubuh mulai dari kepala sampai ke kaki. Karenanya, dibutuhkan usaha serius untuk mengatasinya.
Menanggulangi Korupsi
Penyelesaian masalah korupsi memerlukan langkah yang cermat dan hati-hati. Dhakidae dalam Korupsi dalam Relasi Modal dan Kuasa (2018) menuliskan bahwa surat kabar Australia pernah menyebut aksi heroik-romatik politisi menghadapi korupsi di Indonesia pada tahun 1970-an.
Aksi tersebut membentuk “Komisi Empat” yang terdiri dari manusia “puritis”, semacam Edelmensch (manusia murni), seperti Mohammad Hatta, Profesor Johanes dari UGM, I.J. Kasimo dari Partai Katolik, dan Mr. Wilopo mantan Perdana Menteri era Kabinet Wilopo tahun 1950-an. Mereka disebut sebagai a collection of toothless lions, atau kumpulan singa ompong. Aksi para politisi senior ini tidak mendatangkan dampak bagi pemberantasan korupsi di pemerintahan Soeharto.
Menurut Dhakidae, usaha yang cenderung prosedural seperti merumuskan undang-undang anti korupsi, dan sejenisnya memang penting, tetapi tidaklah cukup. Pernyataan ini tepat. Bila kita melihat lembaga pemberantasan korupsi, nampak bahwa KPK terus diserang dan diperlemah dari dalam maupun dari luar. Belum lagi lembaga-lembaga yang diharapkan mengawasi perilaku kotor pejabat malah banyak berisi para tikus berdasi. Dengan kata lain, banyak lembaga negara sudah dikuasai oleh mereka yang cerdik pandai berbagi keuntungan atas uang rakyat.
Menyalakan Asa
Sampai di titik ini, rasanya sudah tidak ada harapan lagi negara kita akan menjadi lebih baik. Meskipun demikian, sebagai warga negara, kita tetap harus menyalakan asa mengenai pejabat publik yang akan pelan-pelan menghindari praktik korupsi. Walaupun situasinya amat gelap dan tidak memberi harapan, segala niat dan usaha baik dan mulia perlu terus dilakukan.
Pertama, terlibat dalam politik. Berpolitik berarti bekerja untuk membela politics of civility. Dhakidae menulis sebagai usaha untuk meningkatkan kesadaran semua orang tentang korupsi-sejak dini. Sejak dini sudah mulai memperkenalkan ke anak bahwa praktik korupsi berarti tindakan pencurian dan perbuatan tercela. Lebih dari itu, perlu menekankan bahwa korupsi merupakan kejahatan serius yang perlu diberantas.
Kedua, aktif mengawal jalannya negara. Meskipun korupsi sudah menyentuh hampir semua lini lembaga negara, tetapi kita tetap bisa mengawalnya. Sistem digital dan transparansi yang kini sudah mulai berjalan perlu diikuti dan dikritisi. Di titik ini, sebagai warga negara, kita wajib keluar dari ego diri. Artinya memberi waktu untuk memperhatikan, mengkritisi setiap tingkah laku para elite supaya tidak melakukan penyelewengan.
Kedua usaha di atas tentu amatlah ideal dan lagi mulia. Meskipun demikian, fokusnya masih sisi-sisi eksternal. Dengan kata lain, hal-hal tersebut belum menyentuh kedirian kita masing-masing. Ketiga, kejujuran diri. Poin ini amatlah mudah dikatakan, namun selalu sulit untuk dipraktikkan. Sikap kejujuran menuntut penerimaan diri, pengorbanan dan kesungguhan.
Membangun Habitus
Setiap orang perlu sadar akan kapasitas dan kemampuannya. Jika ia mengalami kesulitan, maka teruslah berjuang melalui cara yang benar, dan bukan memakai jalan pintas. Maka penting mengenali diri dan menerimanya.
Selain itu, perlu belajar berkorban. Setiap orang mau memberi waktu untuk saling membantu orang yang kesulitan supaya jangan sampai orang lain merasa sendirian menghadapi persoalan hingga akhirnya orang putus asa dan melakukan tindakan buruk. Kalau ada orang yang mendiami praktik haram, maka orang tersebut sama dengan koruptor, memiliki habitus yang buruk.
Bagaimanapun juga perlu disadari bahwa kita bisa mencegah orang supaya tidak menjadi orang jahat. Kita jangan diam, karena ini merupakan sebuah bentuk egoisme akut. Sebagaimana pernah dikatakan Martin Luther King, “dunia ini rusak bukan karena banyak orang jahat, melainkan karena banyak orang baik yang memilih diam di hadapan kejahatan” (Premula, Ironi Negeri Kepulauan, 2015).
Kita membutuhkan kesungguhan. Artinya, butuh niat dan tekad yang kuat supaya berani berpegang pada prinsip kejujuran, sehingga tidak mudah goyah dan mata duitan. Tentu ini tidak mudah, karena masyarakat kita selalu menuntut kesempurna. Segala usaha dan niat baik perlu terus dilakukan. Harapannya semakin banyak orang tersadarkan dan kita sebagai pribadi tidak sampai terjerumus ke dalam praktik-praktik korupsi.
Menjaga Integritas
Pada akhirnya dapat tumbuh kesadaran yang mengakar bahwa korupsi merupakan tindakkan salah dan tercela. Korupsi berarti mencuri, sehingga ketika ingin melakukannya kita bisa berpikir keras, dan memunculkan rasa malu yang menyiksa sehingga kita tidak melakukannya. Apabila kelak menjadi politikus atau masuk ke dalam institusi atau lembaga yang di dalamnya penuh dengan praktik korupsi, kita dapat menolaknya.
Bila sudah menyentuh jabatan atau dipercaya memimpin atau mengelola sesuatu, maka di situlah integritas atau moralitas kita sebagai pribadi ditantang. Priyono menuliskan ciri moral korupsi tidak lagi dipahami terutama dalam arti personal dan moral umum masyarakat, melainkan moral sebagai integritas jabatan dan sistem tata kelola organisasi. Dengan kata lain, korupsi adalah penyelewengan integritas jabatan (kekuasaan).
Kekuasaan selalu mengasyikkan. Siapa yang punya kuasa bisa melakukan apa saja, maka peluang untuk melakukan kesalahan selalu terbuka besar. Oleh karena itu, orang perlu cermat dan hati-hati.
Sebagaimana pernah dikatakan Syafii Maarif (2004), “menjadi politikus (penulis tambahkan sendiri: berkuasa/memiliki jabatan) harus tahan banting, sebab jika tidak demikian, jangan bermimpi jadi politikus. Politik di mana pun di muka bumi ini pasti penuh dengan intrik dan gesekan, kecuali jika politik itu berhasil dijadikan kendaraan moral, sekalipun yang sering berlaku adalah sebaliknya, moral mengikuti syahwat”.
Referensi
Alkostar, Artidjo. 2008. Korupsi Politik di Negara Modern. Yogyakarta: FHUII Press.
Dhakidae, Daniel. 2018. “Korupsi dalam Relasi Modal dan Kuasa” dalam Jurnal Prisma, Lingkaran Setan Korupsi. Vol 37. No 3. Jakarta: LP3S.
Kamil, Ridwan. 2015. Mengubah Dunia Bareng-Bareng. Bandung: PT. Mizan Pustaka.
Lubis, Todung Mulya. 2017. Political Corruption in Indonesia. Jakarta: CSIS.
Maliki, Zainuddin 2004. Politikus Busuk. Yogyakarta: Galang Press.
Premula, Beni. 2015. Ironi Negeri Kepulauan. Jakarta: PT. Alex Media Komputindo.
Priyono, B. Herry. 2014. Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi. Jakarta: Gramedia.
Suryandari, Siswantini. 2021. Korupsi di Indonesia Sudah Ada Sejak Era VOC, https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/400591/korupsi-di-indonesia-sudah-ada-sejak-era-voc, diakses pada 9/10/2021, pukul 23.00 WIB.