Basis pengelolaan kehidupan bersama tidak hanya kekuatan (sosial-budaya) global saja, tetapi juga lokal. Persinggungan antara supra-lokal ataupun global dan lokal perlu diberi porsi seimbang. Minimal dapat terjadi “perkawinan” antara azas-azas lokal dan non-lokal secara “cantik.” Maksud dari “perkawinan” adalah kehendak untuk membangun kehidupan bersama dalam perbedaan-perbedaan dan kesediaan atau kesadaran untuk saling belajar, memahami, menghargai, percaya, tepa slira, berbagi, mengisi, melengkapi, menopang dan berkolaborasi, dalam mewujudkan kehidupan bersama yang harmonis dan berimbang.
Identitas Bangsa
Hadirnya arus kekuatan global tidak bisa dihindari. Di satu sisi, kita bangga dengan identitas bangsa, namun di sisi lain kita semakin memusatkan perhatian pada kekuatan kehidupan global. Kebanggaan terhadap lokalitas cenderung lebih mengarah pada nuansa geografis saja, namun agak terlepas dari “fondasi” bangunan kehidupan yang menjadi kekhasan ataupun kearifan bangsa ini; “warna” kehidupan lokal yang secara turun-temurun telah mereproduksi nilai-nilai, azas-azas, pengetahuan, dan nuansa kehidupan yang lekat dengan kearifan bangsa ini menjadi tercabik-cabik.
Berbagai pengalaman telah menunjukkan, ketika kebijakan sosial-budaya lebih dominan ke arah global dan justru menafikan keberadaan kebijakan sosial-budaya lokal, terbentuk ketergantungan erat pada dinamika kesuksesan/keberhasilan sekaligus dinamika keterpurukan/kehancuran global. Dengan demikian pencapaian kemajuan tanpa menyisakan basis-basis kekuatan sosial-budaya lokal atau bahkan tanpa “mengawinkan” dengan kebijakan lokal tetap menyisakan peluang terjadinya kehancuran bangunan sistem tersebut, terlebih-lebih ketika dunia global dilanda badai, seperti resesi ekonomi, pandemi, perseteruan politik, dsb.
Ketika basis kekuatan sosial-budaya lokal kurang kokoh, masyarakat cenderung merasa asing terhadap basis-basis kekuatan lokalnya sendiri sebagai langkah alternatif penyelamatan dari krisis global. Dalam konteks ini, keberadaan basis-basis kekuatan sosial-budaya global tetap perlu ditopang alternatif lain. Dengan demikian upaya untuk merawat dan memelihara basis-basis kekuatan alternatif tetap perlu menjadi pertimbangan cukup mendasar dalam penerapan kebijakan “normal baru” (new normal).
Normal Baru
Penerapan kebijakan “normal baru” seharusnya bukan hanya urusan membuka kembali aktivitas-aktivitas utama kehidupan—ekonomi, sosial, dan kegiatan publik—secara terbatas dengan standar atau protokol kesehatan tertentu, tetapi juga membuka kembali atau mengubah pola pikir (mindset) dalam mengelola kehidupan-bersama bangsa ini untuk kehidupan kini dan masa depan nanti (orientasi jangka panjang). Tanpa perubahan pola pikir, ketika pandemi ini benar-benar berakhir, pengelolaan kehidupan bersama bangsa ini akan tetap kurang ditopang oleh azas-azas dan nilai-nilai kehidupan lokal dan akan tetap bersandar pada kekuatan global.
Pemahaman semacam ini diharapkan dapat terus melekat dalam imajinasi bangsa ini sebagai dasar pengelolaan kehidupan bersama ke depannya. Pergumulan atau pergulatan lokal-global tetap harus menyisakan “perkawinan-perkawinan cantik” dan berimbang antara keduanya agar bisa berbarengan menopang kehidupan.
Basis-basis kekuatan lokal, di antara perbedaan pelbagai kekuatan dan kepentingan, perlu didukung oleh berbagai kebijakan yang dapat memperkuat “perkawinan-perkawinan cantik” tersebut. Dalam konteks ini, landasan lokal dan global maupun berbagai kepentingan lain perlu duduk bersama dan berjejaring untuk membangun sistem pengelolaan kehidupan bersama.
Berpijak pada kebinekaan, persatuan, dan sejarah panjang bangsa ini, tentunya perbedaan-perbedaan tersebut justru dapat memberikan nuansa khas dalam berdialog sekaligus merajut rasa saling percaya dan tepa slira; menentukan peran dan keberadaan masing-masing; serta membangun pelantar (platform) bersama agar dapat saling belajar, memahami, menghargai, berbagi, mengisi, melengkapi, menopang, dan berkolaborasi walau dengan peran yang berbeda.
Harus diakui bahwa pandemi ini telah memunculkan “warna-warna” lokal di beberapa wilayah dan mengalir dalam semangat saling membantu, bekerja sama, berbagi makanan, persaudaraan, dsb. Berbagai strategi cerdas cukup mencerminkan kekhasan kehidupan di Indonesia yang ramah, penuh persaudaraan, kebersamaan, dan kegotongroyongan. Keseimbangan relasi antara manusia dengan sesama, dengan alam, dan dengan Sang Pencipta, terus dipupuk agar para pelintas sekat-sekat berbeda tetap dapat merawat dan mengelola kehidupan di bumi Indonesia saat ini dan ke depan nanti.[]