Wahyu Harjanto adalah Wakil Pengawas Mindset Institute. Wahyu Harjanto menyelesaikan pendidikan Master Ilmu Religi dan Budaya di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta (2013). Selama ini, Wahyu Harjanto banyak menulis dan melakukan penelitian mengenai isu demokrasi dan hak asasi manusia.

Minuman Beralkohol Riwayatmu Kini

1 menit waktu baca

Minuman beralkohol (mirol) banyak dikenal dalam budaya dan masyarakat Indonesia. Mereka mengenal pelbagai macam jenis mirol dan teknik pembuatannya. Tuak, brem, baram, dan anggur adalah jenis mirol yang lazim ditemukan dalam masyarakat. Ketiganya dibuat dengan cara fermentasi –pengolahan minuman yang paling kuno. Menyusul kemudian teknik baru, destilasi, dengan keluaran seperti arak, sopi, dan ciu.

Banyaknya varian mirol di Indonesia merepresentasikan kekayaan budaya (teknologi minuman) dan kekayaan alam sebagai bahan bakunya. Tumbuhan jenis palma seperti kelapa, aren, dan lontar, misalnya, akan menghasilkan tuak setelah didestilasi. Varian mirol lain bisa didapat dari fermentasi buah-buahan, biji-bijian, dan umbi. Apel, salak, pisang, anggur, beras, ketan, dan singkong adalah bahan baku mirol yang jamak ditemui di hampir semua suku bangsa di Indonesia.

Mirol terkait dengan tradisi minum mirol. Aktivitas yang dalam konteks Indonesia memiliki akar sejarah panjang. Apa yang penting digarisbawahi adalah bahwa tradisi minum mirol terintegrasi dalam sistem survival, ritual, kesenian, pengobatan, dan hospitalitas sosial politik. Orang-orang di daerah pesisir yang kerap didera angin dan badai, minum mirol untuk survival. Dalam hal ini mirol merupakan bagian dari cara mereka beradaptasi dengan alam yang sering tidak ramah dan tidak terduga.

Prasasti Pangumulan (902 M) menyebutkan tuak sebagai minuman yang disajikan dalam upacara penetapan tanah sima. Kitab Negarakertagama (1365M) menyebutkan bahwa tuak dan arak dipakai dalam setiap perayaan di Majapahit. Pada Serat Ma Lima pada (1903M) menyebut larangan mabuk dalam masyarakat Jawa.

Mirol juga terungkap lewat seni tari. Beksan Inum di lingkungan Kadipaten Pakualaman ini dilakukan empat penari laki-laki dengan properti botol minuman dan dua sloki. Beksan Sekar Madura (Beksan Gendul), tarian di lingkungan Kasultanan Yogyakarta juga menggunakan properti botol minuman dan gelas sloki dalam tariannya.

Serat Centhini bahkan menyebutkan semacam seni minum mirol di dalam masyarakat Jawa. Di dalamnya ada etiket dan personifikasi saat orang berhubungan dengan mirol. Jika tahu etiket, tahu waktu, dan tahu batas, si peminum akan mendapatkan manfaat atau faedah. Tetapi tidak sebaliknya.

Belakangan mirol dipersoalkan orang. Hampir semua orang menampik keberadaan mirol. Ia dicap negatif dan dianggap berkaitan dengan kriminalitas dan moralitas. Paparan di atas menunjukkan bagaimana mirol ada dan mengapa orang minum mirol. Tak dipungkiri bahwa mirol memiliki dampak buruk tidak saja bagi si peminum tapi juga orang di sekiling. Tapi bagi mereka yang tahu etiket, tahu batas, dan tahu waktu, mirol sama sekali tak ada bedanya dengan jamu.

Isu mirol sering ambigu. Kriminalisasi mirol ternyata terus saja melahirkan minuman oplosan –minuman yang tak lagi bisa disebut minuman kecuali racun karena kandungan zat di dalamnya. Dibebaskan, jika tidak tahu etiket juga akan membuat polisi sibuk.

Gagasan ini telah dimuat di Media Indonesia.com (03/03/2021).

Demikian halnya mendudukkan masalah mirol dan aktivitas yang mengikatnya dalam kaca mata moral adalah kekeliruan serius. Jika yang dilihat adalah soal ekses, soal mabuk, hal itu hanyalah bagian dari perilaku buruk. Moralitas orang tidak berubah karena meminum mirol.

Wahyu Harjanto adalah Wakil Pengawas Mindset Institute. Wahyu Harjanto menyelesaikan pendidikan Master Ilmu Religi dan Budaya di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta (2013). Selama ini, Wahyu Harjanto banyak menulis dan melakukan penelitian mengenai isu demokrasi dan hak asasi manusia.

Jilbab, Negara, dan Kemerdekaan Indonesia

Penulis: Kamil Alfi Arifin Pemaksaan melepas jilbab bagi anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) Nasional 2024 oleh Badan Penanaman Ideologi Pancasila (BPIP) telah mencederai...
Mindset Institute
14 detik waktu baca

Pidato: Menakar Kuasa Destruktif Kreatif

Di dalam dunia yang terus berubah, orang seringkali diminta untuk kreatif dan inovatif. Namun kreativitas ini dapat berakibat destruktif. Prof. Aloysius Gunadi Brata membahas...
Mindset Institute
16 detik waktu baca

Interview with Taring Padi: vanguardism, creativity, symbols, and the…

Penulis: Heronimus Heron & Min Seong Kim Abstract A work by the Indonesian artist collective Taring Padi titled People’s Justice caused great controversy during...
Mindset Institute
24 detik waktu baca