Tri Guntur Narwaya adalah Direktur Eksekutif Mindset Institute. Guntur Narwaya menyelesaikan pendidikan doktor Kajian Budaya Media di Universitas Gadjah Mada (2019). Saat ini, Guntur Narwaya menjadi pengajar di Fakultas Komunikasi Universitas Mercu Buana Yogyakarta, dan peneliti mengenai isu demokrasi dan hak asasi manusia.

Pancasila dan Revitalisasi Kepublikan

3 menit waktu baca

Mahkamah Agung (MA) melalui amar putusan Perkara No. 17/P/HUM/2021 telah mengabulkan uji materi atas Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Menteri Agama (Menag) yang dikeluarkan tanggal 3 Februari 2021 terkait persoalan penggunaan pakaian seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan di lingkungan sekolah.

Uji materi diajukan oleh Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat. MA mengabulkan pengajuan uji materi dan sekaligus membatal berlakunya SKB 3 Menteri. Alasannya, SKB bertentangan dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, UU NO. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tentu saja keputusan MA mendapat beragam respon, baik mereka yang setuju ataupun yang menyesalkan keputusan tersebut.

Bagi sebagian orang yang sejak awal mendorong pemberlakuan SKB 3 Menteri ini, merasa bahwa keputusan MA dianggap sebagai langkah mundur bagi penciptaan ruang pendidikan yang lebih inklusif, moderat dan berkeadilan. Prinsip inklusivitas pendidikan tidak membenarkan adanya paksaan atas penggunaan seragam yang memiliki identitas primodialisme tertentu.

Prinsip ini tidak berarti menolak adanya penggunaan seragam di lingkungan sekolah. Substansi permasalahan yang dikritik dan dipersoalkan adalah adanya langkah pemaksaan (pewajiban) penggunaan seragam beridentitas keagamaan dan terutama diwajibkan kepada anak didik yang berbeda keyakinan agama.

Polemik tentang pembatalan SKB merupakan rentetan dari respon terkait kewajiban penggunaan jilbab bagi siswa sekolah non-muslim yang terjadi di salah satu Sekolah Negeri di Padang, Sumatera Barat. Kasus tersebut menjadi menarik untuk disimak karena terjadi dan diberlakukan pada institusi publik yakni sekolah yang berstatus negeri. Tentu saja institusi publik seyoganya memang mengandaikan adanya pengelolaan yang dijiwai oleh semangat kepublikan dan jauh dari kepentingan nalar primodialisme tertentu.

Polemik pewajiban pakaian ini jika diangkat dalam spektrum refleksi yang lebih luas sebenarnya bisa mencerminkan adanya ruang krisis serius bagaimana persoalan ruang publik dan nalar kepublikan musti diletakkan dengan benar. Sekolah negeri adalah bagian dari cermin institusi publik yang memang disediakan untuk semua warga.

Dalam dimensi kepublikan, maka setiap institusi pelayanan publik tidak diperbolehkan dikelola dengan eksklusif dan primodial. Institusi publik adalah ruang yang berdiri atas prinsip keberagaman, kesetaraan, kebebasan dan penghargaan atas dimensi pluralitas. Dengan demikian segala bentuk pengelolaan yang memberi peluang atas praktik eksklusivisme dan diskriminasi tentu sepenuhnya harus dihindari.

Berbagai hasil riset tentang menguatnya kultur intoleransi dan sentimen primordial adalah sebuah fakta penting bagaimana ruang kebangsaan ini mendapat tantangan yang cukup serius. Tentu saja makna kebangsaan dalam hal ini tidak sebagai bangunan identitas semata, namun lebih mengacu pada gerak imajinasi dan energi bersama sebagai sebuah komunitas untuk mewujudkan ruang hidup yang nyaman dan berkeadilan bagi semua orang.

Kita tentu tidak bisa menepis bahwa rasio primodialitas akan tetap ada. Setiap kelompok akan selalu memiliki kepentingan untuk kelompoknya. Namun dalam rasionalitas kepublikan, yang secara esensi bersifat demokratis, setiap partikularitas kepentingan kelompok harus membuka diri pada pergumulan dialog yang demokratis pula.

Mengapa prinsip kepublikan ini menjadi sangat penting bahkan sejak awal republik berdiri dipilih sebagai komitmen dan konsensus dasar bangsa ini? Para pendiri bangsa sejak awal sudah menyadari bahwa spirit kepublikan dengan fondasi prinsip negara demokrasi merupakan pilar utama yang diyakini bisa menjawab tantangan objektif atas partikularitas keberagaman yang hidup di Indonesia.

Satu konsensus puncak yang disepakati bisa menggambarkan seluruh jiwa kepublikan ini adalah nilai dasar Pancasila. Kecuali sebagai paradigma dan bangunan moral dasar, Pancasila pada hakikatnya bisa dipahami sebagai ungkapan dari komitmen utama kepublikan itu sendiri.

Landasan nalar kepublikan membutuhkan ketersediaan ruang dan gerak demokrasi plural secara terus menerus. Prinsip ini semacam landasan eksistensi dasar yang tidak bisa diabaikan. Bahkan cita-cita dasar republik yang tertuang secara eksplisit dalam UUD 1945, telah menegaskan bahwa negara berdiri untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Nalar kepublikan akan membuka akses dialog bagi setiap warga negara untuk diakui dan dihormati secara adil dan setara.

Tentu saja nalar primodialisme akan selalu hidup pada setiap komunitas. Yang terpenting diajukan justru mendorong penataan ruang publik yang demokratis dan tidak terdistorsi oleh segala watak sentimen primodialisme. Nalar kepublikan tidak memangkas peran agama, namun yang lebih penting justru bisa memberi ruang yang lebih demokratis bagaimana membawa agama dalam nalar publik.

Jika perspektif cara berpikir yang dipakai demikian, maka kita tidak perlu ekspresif, fobia dan alergi atas berbagai artikulasi agama di ruang publik, namun justru menempatkan khasanah keluhuran agama ke dalam interaksi dan dinamika di ruang kepublikan yang lebih baik.

Rasionalitas publik tidak semata dipahami sebagai persoalan teknis instrumental belaka. Ia bisa menjadi kekuatan spiritual, moral serta dimensi etis untuk mendorong solidaritas antar warga yang datang dari beragam identitas. Imajinasi da hasrat untuk hidup bersama merupakan energi kekuatan sangat besar menjadikan kita sebagai satu bangunan kebangsaan yang kokoh dan kuat.

Gagasan mendasar ini tak mungkin terwujud kalau pengelola institusi publik justru semakin teringkus dengan ego primodialitas masing-masing. Dalam kerangka berdirinya republik, basis nalar kepublikan dan demokrasi secara presuposisi hakikatnya diandaikan sudah ada sejak awal.

Seperti halnya sudah terkristalisasi dalam konsensus nilai dasar Pancasila, visi kebangsaan kita bukanlah identitas dari penjumlahan sekumpulan etnis, ras atau agama tertentu, namun lebih jauh melampui karakter partikularitas itu. Ia adalah kehendak, komitmen dan konsensus moral kolektif yang sangat luar biasa untuk bersepakat membangun keeratan ruang hidup bersama dalam sebuah rumah besar republik. Tentu sangat ironis dan disayangkan jika komitmen dasar ini lalu mudah kita abaikan dan kesampingkan begitu saja.

Tri Guntur Narwaya adalah Direktur Eksekutif Mindset Institute. Guntur Narwaya menyelesaikan pendidikan doktor Kajian Budaya Media di Universitas Gadjah Mada (2019). Saat ini, Guntur Narwaya menjadi pengajar di Fakultas Komunikasi Universitas Mercu Buana Yogyakarta, dan peneliti mengenai isu demokrasi dan hak asasi manusia.

Jilbab, Negara, dan Kemerdekaan Indonesia

Penulis: Kamil Alfi Arifin Pemaksaan melepas jilbab bagi anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) Nasional 2024 oleh Badan Penanaman Ideologi Pancasila (BPIP) telah mencederai...
Mindset Institute
14 detik waktu baca

Pidato: Menakar Kuasa Destruktif Kreatif

Di dalam dunia yang terus berubah, orang seringkali diminta untuk kreatif dan inovatif. Namun kreativitas ini dapat berakibat destruktif. Prof. Aloysius Gunadi Brata membahas...
Mindset Institute
16 detik waktu baca

Interview with Taring Padi: vanguardism, creativity, symbols, and the…

Penulis: Heronimus Heron & Min Seong Kim Abstract A work by the Indonesian artist collective Taring Padi titled People’s Justice caused great controversy during...
Mindset Institute
24 detik waktu baca