Bagi warga Yogyakarta, nilai-nilai keistimewaan Yogyakarta seharusnya bukan merupakan suatu nilai yang asing atau harus dicari-cari. Kehadirannya sudah melekat di hati sanubari masyarakat jauh sebelum UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta diundangkan dan beberapa Peraturan Daerah Istimewa ditetapkan.
Landasan kehidupan selaras dan harmonis telah menjadi bingkai utama dalam tata kelola kehidupan bersama yang diwariskan oleh nenek moyang bangsa ini sejak berabad-abad lalu sesuai dengan konteks lingkungan geografis maupun sosial-budaya masing-masing. Pengelolaan relasi selaras antara manusia dengan sesama, dengan alam, dan dengan Sang Pencipta telah membuka lebar hadirnya kehidupan bersama secara harmonis dan bahkan berorientasi untuk kehidupan jauh ke depan atau jangka panjang.
Perlu dipahami bahwa keselarasan dan keharmonisan kehidupan perlu didukung oleh beberapa komponen penyangga yang saling terajut dalam menghasilkan ekosistem tata nilai, kebijaksanaan, atau karakter yang mengarah pada terwujudnya kehidupan harmonis. Komponen-komponen yang saling terajut tersebut tidak hanya komponen yang kasat mata tetapi juga yang datan (tidak) kasat mata.
Ranah Yogyakarta
Kehidupan di Yogyakarta dan sekitarnya sangat lekat dengan konteks sosial-budaya Jawa. Berbagai silang budaya mewarnai kehidupan orang Jawa, sekaligus mengembangkan strategi cerdik dalam mengelola budaya Jawa dalam perjumpaan dan keterbukaan dengan berbagai budaya. Dalam konteks ini, perjalanan dan pengalaman yang telah dilalui budaya Jawa telah membuka ruang pergumulan dan kesadaran dialogis dalam berbagai perjumpaan.
Nilai-nilai dan karakter kehidupan yang terbangun di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya, tidak bisa dilepaskan dari landasan keselarasan dan keharmonisan dalam konteks sosial-budaya Jawa serta perjumpaan dan persinggungannya dengan sejarah Keraton Yogyakarta maupun perkembangan kehidupan di wilayah tersebut.
Sejak awal masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I, penataan unit-unit tempat tinggal didasarkan pada perbedaan profesi dan unit keprajuritan di dalam maupun sebagian di luar benteng keraton. Sultan-sultan selanjutnya juga merengkuh kelompok etnis yang berbeda dengan menempatkan mereka dalam suatu unit tempat tinggal, seperti Kampung Menduran (Madura), Sayidan (Arab), Ketandan dan Kranggan (Tionghoa), dan Kotabaru (Eropa—Belanda).
Selain itu, terdapat kampung-kampung lain berdasarkan unit profesi, seperti Pajeksan, Dagen, Gandekan, dan Jlagran. Dalam perkembangannya, pengelompokan unit tempat tinggal tersebut saling membuka sekat-sekatnya dan melebur menjadi unit tempat tinggal yang beragam.
Kehadiran Universitas Gadjah Mada, memungkinkan kehadiran berbagai macam perbedaan karakter sosial-budaya, etnis, golongan yang ingin belajar di universitas tersebut semakin mewarnai kehidupan di Yogyakarta. Pada gilirannya, berdiri juga asrama mahasiswa berdasarkan asal wilayah dan juga indekos yang memungkinkan terjadinya interaksi antara mahasiswa dengan induk semang. Proses saling belajar karakter dan kebudayaan terjadi dengan terbuka.
Perjalanan panjang dan proses pergumulan tersebut telah memberikan ruang persemaian nilai-nilai dan sikap terbuka, ramah, relasi selaras dan harmonis, inklusif, tepa slira, dan dialogis. Sikap para sultan dalam merengkuh warganya dengan welas asih juga memberikan ruang bagi penghayatan nilai hamemayu hayuning bawana dan manunggaling kawula-Gusti.
Refleksi Bersama
Selama beberapa dasa warsa terakhir, penghayatan nilai-nilai keselarasan dan keharmonisan dalam berbagai kegiatan sosial-budaya relatif terabaikan. Hadirnya kehidupan global telah memberikan landasan kehidupan berbeda melalui bingkai persaingan dan kompetisi. Bingkai keselarasan dan keharmonisan kehidupan menjadi relatif terpinggirkan.
Pilihan nilai keistimewaan dalam kehidupan di Yogyakarta sering kali relatif terjebak pada terminologi yang justru kurang dikenal akrab oleh masyarakat, bahkan kurang mengakar pada terminologi keselarasan dan keharmonisan beserta seperangkat komponen penopangnya yang relatif masih hadir dalam kehidupan sehari-hari mereka. Bingkai keselarasan dan keharmonisan perlu dikedepankan untuk menegaskan kembali keistimewaan Yogyakarta, sekaligus memberi warna khas dalam kehidupan global.