Research talk dilatarbelakangi kenyataan bahwa ketika seseorang berangkat ke luar negeri untuk menjadi pekerja migran, yang ada dalam bayangan banyak orang adalah bahwa, si pekerja migran ini berangkat mengadu keberuntungan untuk bisa menafkahi keluarganya di kampung hanya berbekal keterampilan dan pendidikan yang terbatas. Inilah pandangan yang seperti sudah menjadi stigma yang menyertai perjalanan hidup seseorang menjadi pekerja migran.
Secara tidak adil pihak lain sering memberikan perlakuan yang merendahkan si pekerja migran tersebut, terutama dalam prosesnya berangkat menjadi pekerja migran seperti ketika mengurus dokumen, melewati imigrasi, transit dan tiba di negara tujuan.
Stigma yang menghantui perspektif umum terhadap pekerja migran seharusnya sudah harus berakhir. Harus diungkap bahwa perjuangan pekerja migran itu beraneka-ragam, tidaklah tunggal dan sempit. Memang, dalam sejarahnya, pekerja migran akan bekerja menangani pekerjaan-pekerjaan seperti pekerja pabrik maupun asisten rumah tangga.
Namun, seperti pepatah mengatakan, “Berlian di tengah kubangan lumpur tetaplah berlian!”. Tidak sedikit pekerja migran yang bertransformasi diri melompat jauh memasuki dunia kerja dan karya yang tidak terbayangkan oleh orang-orang yang memberi stigma tersebut.
Pekerja migran ada yang berjuang melakukan transformasi diri menjadi scholar, yaitu, salah satu definisinya adalah “Seseorang yang belajar bidang akademis tertentu dan tahu banyak soal itu”. Mereka ini bertransformasi menjadi orang yang mendalami bidang akademis tertentu dan mencoba mengemukan pemahaman yang baik mengenai bidang tersebut.
Perjuangan mereka berkembang dalam situasi hidup sebagai migran generasi pertama dan generasi kedua (anak dari pekerja migran), apakah itu sambil menjalani lakon hidup sebagai pekerja migran ataupun memasuki dunia pendidikan setelah pulang ke Indonesia.
Dalam pembicaraan, Nuryati menyampaikan bahwa sebelumnya tidak terpikirkan bisa menjadi akademisi seperti saat ini namun ia meyakini bahwa ilmu bisa membahagiakan dirinya. Salah satu cara mendapat ilmu melalui pendidikan. Ia pun memikirkan bagaimana pendidikan bisa mengangkat derajat orang tua. Saat keadaan finansial keluarga tidak memungkinkan untuk membiayai kuliah, ia melihat ada ruang untuk mendapatkan uang dari bekerja sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI).
Setelah melalui jalan yang cukup panjang, Nuryati memperoleh ilmu melalui pendidikan yang kemudian mengarahkan dirinya untuk menjadi akademisi dan peneliti. Bahkan Nuriyati sudah menamatkan studi doktoral di Universitas Padjajaran. Nuriyati memiliki tekad untuk merubah paradigma yang mengatakan TKI kurang berpendidikan, dan ia membuktikan bahwa sebagai TKI, dirinya bisa menjadi scholar.
Dina membagikan pengalamannya bahwa dari awal keluarganya memang menekankan pentingnya untuk mendapatkan ilmu. Namun keadaan finansial keluarga yang tidak memungkinkan sehingga membuat dirinya bertekad kuat mencari biaya pendidikan sebagai pekerja migran.
Pilihan untuk menjadi pekerja migran karena menurut hitungannya tidak mungkin mendapatkan biaya yang besar saat bekerja di Indonesia. Walau harus berpisah dengan keluarga tetapi ada keinginan untuk meringankan beban keluarga maka memutuskan bekerja di luar negeri. Dina menyampaikan saat berangkat bekerja di luar negeri, ibunya berpesan untuk mempelajari ilmu yang lain juga.
Saat di Hong Kong, Dina mencari informasi kursus-kursus yang ada di sana. Bertemu banyak orang sehingga memiliki keinginan untuk kuliah. Dalam kaitannya dengan riset, Dina menyebutkan bahwa kini social remittance seharusnya lebih diperhatikan, bukan hanya financial remittance. Begitu pula dengan brain gain yang diperoleh para pekerja migran.
Ridwan menyampaikan bahwa sejak SMA ingin melanjutkan pendidikan. Ridwan sempat kuliah di Surabaya namun kemudian memutuskan untuk pergi ke Korea Selatan. Ketika menjadi pekerja migran, ia pernah ditipu oleh sponsor tetapi ditangani dan didampingi oleh Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI).
Lalu Ridwan melanjutkan kuliah sampai lulus dan kemudian diajak bergabung di SBMI. Keinginan untuk kuliah lagi muncul karena ada peluang saat ia bekerja di Malaysia. Akhirnya Ridwan bekerja sambil kuliah di Malaysia.
Ridwan berkeinginan bagaimana cerita pekerja migran tidak hanya soal devisa yang membantu keuangan negara dan keluarganya tetapi narasinya juga harus berimbang dalam hal pemberdayaan dan scholarship.
Yoga membagikan cerita bahwa yang menjadi pekerja migran sebetulnya adalah ibunya, bukan dirinya. Persoalan migrasi menjadi sangat personal bagi dirinya karena ibunya bekerja di Singapura sejak 1997 yang meninggalkan dirinya yang saat itu belum genap berusia dua tahun.
Yoga sebagai akademisi mengeluti isu migran sejak tahun 2016 dan mendapatkan beasiswa program satu semester di National University of Singapore. Ia belajar tentang migrasi dan diaspora pekerja migran di Asia Tenggara.
Cerita tentang migrasi selama ini selalu dipenuhi dengan hal negatif seperti eksploitasi, pelecehan seksual, perselingkuhan, perceraian, keterbelakangan pendidikan. Cerita ini tidak salah sepenuhnya tetapi narasi yang homogen ini tidaklah mengambarkan sisi-sisi lain dari kehidupan pekerja migran.
Sebagai contoh, saat di Singapura, Yoga dikenalkan oleh ibunya kepada para pekerja rumah tangga di sana. Anggapan umum tentang mereka seketika runtuh karena Yoga menemukan bahwa teman-teman ibunya sesama pekerja migran ada yang menjadi fotografer, dancer, fashion show, ada yang pintar bakery dan menemukan kelompok penulis sastra. Karya-karya kelompok penulis sastra tersebut bahkan dikumpulkan dan dipublikasikan sendiri oleh kelompok tersebut menjadi sebuah antologi.
Kelompok ini pun aktif ikut kegiatan pembacaan puisi di berbagai kesempatan, bersanding dengan sastrawan dan pujangga lokal di Singapura. Menurut pengamatan Yoga, para pekerja migran menggunakan ekspresi melalui karya kesenian dalam menghadapi kesumpekan sistem otoriter di negara tersebut.
Sementara Panca menyampaikan bahwa saat para scholar membahas topik mengenai Indonesia dengan berbagai fenomenanya, pembahasan seringkali salah memahami Indonesia. Hal ini karena materi untuk memahaminya secara akademis sangat terbatas baik dalam bahasa Indonesia, apalagi dalam bahasa yang dipahami secara internasional. Topik pekerja migran tidak lepas dari kondisi ini.
Dalam memberikan informasi pengetahuan yang lebih baik mengenai Indonesia, tantangannya bukan hanya soal bagaimana menembus jurnal internasional tetapi juga orang yang menulis soal migran seringkali tidak memahami seutuhnya pekerja migran. Berbagai soal pekerja migran tidak pernah dipahami dengan baik seperti soal social contract, atau tentang adanya pekerja migran yang ikut berkesenian.
Di tengah kekosongan ini sangat urgen kita sama-sama mengangkat topik ini yang selama ini tidak ter-cover, dengan mengingat bahwa kalau bukan komunitas pekerja migran sendiri lantas siapa lagi yang akan meng-cover untuk menyuarakan kondisi teman-teman pekerja migran.
Aloysius menyampaikan tujuan MINDSET Institute mengadakan diskusi ini untuk melihat sisi lain dari pekerja migran yang belum terangkat. Kita perlu angkat. Seperti yang dialami oleh mereka yang studi di luar, Aloysius juga pernah menjalani pekerjaan seperti halnya pekerja migran, untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan yang ada.
Juga digarisbawahi bahwa social remittance yang disampaikan Dina adalah hal yang sangat menarik dan penting untuk diketahui bagaimana kawan-kawan yang pergi bekerja di luar negeri bisa pulang membawa social capital dan bisa memberikan manfaat bagi sekitar.
Soal riset, disampaikan bahwa di luar negeri ada yang melakukan studi bagaimana para migran masuk ke Eropa mampu membentuk jejaring dan mereka dapat menjadi motor munculnya usaha-usaha baru di sana. Memang ada perbedaan antara pekerja migran dari Indonesia dan dari tempat lain.
Pekerja migran dari Indonesia cenderung masih berkeingan pulang sementara pekerja migran seperti dari Afrika yang masuk ke Eropa memiliki keinginan untuk tinggal lama di Eropa dan jika mungkin menjadi penduduk di sana. Ini mungkin membawa implikasi yang berbeda. Salah satu peluang yang bisa kita ambil adalah memetakan jaringan migran baik yang masih di luar yang memiliki jaringan di Indonesia, berikut social remittance mereka.
Research talk ini menghadirkan tantangan tersendiri, yaitu bagaimana MINDSET Institute dapat berkontribusi mendukung kawan-kawan scholar dengan latar belakang pekerja migran baik itu generasi pertama maupun generasi kedua.
Dalam mendukung para scholar berlatar belakang pekerja migran ini merupakan upaya bersama bukan hanya untuk mengulas perjuangan para pekerja migran dalam meningkatkan statusnya, tapi bisa mengisi ruang kosong dalam pengetahuan yang ada saat ini sehingga bisa mempertajam pengetahuan mengenai pekerja migran.