
Tiada orang yang tak suka
Pada yang bernama rupiah
Semua orang mencarinya
Di mana rupiah berada
Walaupun harus nyawa sebagai taruhannya
Banyak orang yang rela cuma karena rupiah
Memang sungguh luar biasa
itu pengaruhnya rupiah
Sering karena rupiah
Jadi pertumpahan darah
Sering karena rupiah
Saudara jadi pecah
Memang karena rupiah
Orang menjadi megah
Kalau tidak ada rupiah
Orang menjadi susah
Hidup memang perlu rupiah
Tetapi bukan segalanya
Silahkan mencari rupiah
Asal jangan halalkan cara
Buat apa berlimpah
Kalau jadi bencana
Sedikit pun jadilah
Asal membawa berkah
Dari itu jangan serakah
Di dalam mencari rupiah
(Rhoma Irama, “Rupiah”, Album Rupiah)
=========
RUPIAH adalah album ketiga musisi dan biduan dangdut tanah air, Rhoma Irama, bersama Orkes Melayu Soneta yang ia mandori. Album ini merupakan album kedua setelah album pertamanya yang berjudul “Penasaran”, beredar di pasar.
Album Rupiah berisikan sepuluh lagu, yaitu Rupiah, Birahi, Beku, Rambate Rata Hayo, Datang Untuk Pergi, Dendam, Sombong, Air Mata Darah, Hello-hello, dan Mengapa Merana.
Album Rupiah direkam pada tahun 1974 dan diedarkan ke publik Indonesia pada tahun 1975 oleh pelaku usaha rekaman bernama Yukawi Studio. Lagu bertajuk Rupiah rupanya sengaja dibidik produser untuk dijadikan sebagai lagu unggulan di album ini. Sebuah harapan dan putusan yang sama sekali tidak sia-sia. Hal ini terbukti karena lagu Rupiah inilah yang menjadikan album ketiga Rhoma Irama meledak di pasar musik tanah air.
Di album ketiganya, Rhoma Irama menggandeng biduanita Elvi Sukaesih sebagai kawan duetnya. Dua orang yang sudah cukup lama bersahabat. Mereka selanjutnya dinobatkan sebagai Raja dan Ratu Dangdut sohor tanah air.
Sementara album Rupiah sendiri diedarkan hanya beberapa saat menjelang Rhoma Irama pergi menunaikan ibadah haji ke Makkah –satu momen yang kelak akan menjadi titik perubahan namanya menjadi Haji Rhoma Irama. Sebuah transformasi nama yang cukup eksenstrik. Selain itu, tentu saja lebih bercita rasa pasar alias komersil atau layak jual.
Rhoma Irama adalah salah satu dari sekian banyak musisi dan biduan kawakan tanah air idola saya. Pengamatannya terhadap permasalahan sosial kemanusiaan dengan spektrum luas menjadi ciri khas sejumlah besar karyanya.
Satu hal yang menjadikan lagu-lagunya melampaui dangdut pada umumnya yang lebih banyak berbicara soal asmara dan derita cinta. Lagu-lagunya yang kritis mendekati trademark lagu-lagu balada. Satu hal yang menjadikannya diakui publik dalam dan luar negeri.
Bagaimana seorang musisi pada umumnya dan Rhoma Irama khususnya sampai pada satu renungan atau karya tertentu dan bagaimana mereka dengan sangat piawai mengungkapkannya dalam bahasa musik yang sangat indah telah menjadi hal yang mengejutkan sekaligus mengagumkan saya.
Rupiah adalah penanda tentang aktualitas masyarakat Indonesia perkotaan dalam rentang waktu 30 tahun pasca kemerdekaan 1945, dan delapan tahun usia rejim ORBA Soeharto (1967) –yang masih membutuhkan waktu dua dasawarsa lagi untuk menghentikan denyut jantung kekuasaannya.
Lebih lanjut dalam konteks Indonesia modern, lagu ini mengingatkan kita pada perubahan sosial budaya pada jamannya yang telah sedemikian rupa dipenetrasi oleh gelombang dahsyat kapitalisme.
Fenomena yang meruyak dalam kehidupan masyarakat Indonesia tentu bukan hal asing bagi kaum cerdik cendikia. Fenomena itu menjadi titik perhatian atau catatan para ilmuwan seperti para ahli sejarah luar dan dalam negeri yang merunut persoalan monetisasi sejak era kapitalisme perkebunan.
Tapi, mengapa uang? Ada apa dengan uang? Pertanyaan ini mengingatkan kita pada peringatan Karl Marx, seorang pemikir sosial seabad lebih yang lalu. Secara mendalam Toean Karl Marx menyoal uang lewat bukunya “The Mysticism of The Exchange Value” di awal abad XIX. Sebuah gagasan yang kelak akan mendapatkan tempat mulia di dalam jagad pemikiran sosial dan kemanusiaan mutakhir dunia.
Dari gagasan itu, Marx menjelaskan tentang persoalan alat pembayaran bernama uang dan implikasinya secara sosial dan kemanusiaan. Dalam hal ini, Marx tidak melulu melihat persoalan di dalam dirinya –perse, melainkan dalam kaitannya dengan hal lain di luarnya. Uang, dalam perspektif Marx dilihat karena kandungan nilainya.
Nilai yang bisa dipertukarkan dengan sesuatu melalui sistem dan mekanisme pertukaran atau pasar. Nilai di dalam uang yang memungkinkan orang memindahkan handphone, motor, mobil mewah terbaru dari sebuah showroom di kota, ke rumahnya yang sangat jauh dan terpencil di pucuk gunung.
Uang memungkinkan orang melakukan apa saja yang diingini. Mulai dari berbelanja kebutuhan dapur, pesiar dengan pesawat atau kapal mewah dan tinggal di hotel berbintang, membangun ratus perusahaan secara bersamaan, hingga menguruk laut sekalipun.
Uang pun memberi peluang dan kesempatan bagi orang untuk melakukan mobilitas politik –sebagai Tsar, Sultan atau Presiden. Pendeknya dalam perkembangan selanjutnya siapa yang menggengam uang, ia akan menggenggam kekuasaan!
Gagasan bergizi temuan Toean Karl Marx bisa kita lanjutkan dengan melihat secara jauh tentang kekuatan uang dalam mengubah sisi terdalam kemanusiaan orang secara personal dan sosial. Dalam konteks ini hubungan manusia dan uang kemudian menjadi bermasalah.
Disadari atau tidak hubungan manusia dan uang dalam perkembangan selanjutnya mampu menyuruk derajat manusia tidak lebih dari binatang; tepatnya binatang ekonomi (animal economicus).
Sosok yang awalnya secara begitu rupa berusaha mati-matian mencari, mengeruk, dan menggengam harta serta kekayaan dengan pelbagai cara, hingga akhirnya ia pun menghamba dan dikuasai oleh uang yang mereka cari serta kumpulkan.
Problem menonjol pelbagai bangsa dan negara tak terkecuali Indonesia seperti halnya korupsi, manipulasi, dan penyalahgunaan wewenang dengan kekuasaan sebagaimana dilakukan oleh sejumlah besar pejabat publik, politisi, dan profesional bisa diperiksa dari aras pembicaraan ini.
Dalam hal ini, Rupiah mengingatkan kita pada kekuatan uang dalam kehidupan manusia keseharian. Manakala dihadapkan pada uang, harta, atau kekayaan, orang tidak hanya menjadi tamak dan rakus, tapi mereka bisa menjadi sangat ganas, buas, brutal, dan kejam.
Dalam ungkapan Rupiah termuat pesan, uang seringkali mengakibatkan pertikaian antar-keluarga. Uang memicu terjadinya perpecahan antar-saudara. Bahkan tidak jarang uang pun menjadi pemantik utama adanya pertumpahan darah. Orang bisa baku bunuh karena uang!
Disadari atau tidak kedudukan uang dalam kehidupan keseharian manusia modern menjadi semakin strategis. Uang bisa menjadikan orang bermegah atau terpandang secara sosial. Orang bisa dirundung kesusahan hidup jika tanpa seperserpun uang di kantongnya. Pada saat yang bersamaan Rupiah sekaligus mengutarakan tentang dilema yang muncul, dan menjerat orang saat berhubungan dengan uang.
Dilema yang hanya bisa diterobos melalui nilai lain. Nilai yang melekat di luar uang. Nilai yang barangkali terserak di dalam pepatah petitih nenek moyang, gita sasanti para spiritualis, dan sabda Tuhan yang diasongkan para rohaniwan agama. Nilai yang bernama kearifan. Karena itu, meminjam kata Rupiah, “Buat apa berlimpah, kalau jadi bencana? Mengapa tidak sedikit asal membawa berkah? Karena itu, janganlah serakah di dalam mencari rupiah”.
Orang tetap boleh, harus, bahkan mutlak mencari uang. Satu hal yang sangat strategis untuk menjawab tuntutan dan kebutuhan hidup seiring perkembangan masyarakat yang sebagian besar telah mengkonvensikan penggunaan uang sedemikian rupa. Bukankah sekedar untuk kencing dan (atau) berak pun kita butuh uang? Tapi ingat, ada cara yang dibenarkan oleh keutamaan dan kearifan nilai lain. “Dari itu, silahkan mencari rupiah, asal jangan halalkan segala cara”.
Demikian peringatan Rupiah belakangan semakin menemukan momentumnya. Sebagaimana kita tahu pelbagai perayaan, mulai dari hari ulang tahun hingga hari-hari besar keagamaan di Indonesia seperti Idul Fitri dan Natal, serta pesta populer Old And New alias Tahun Baru telah berubah menjadi parade konsumsi yang menggamit erat uang sekaligus.