Di masyarakat wilayah NTT, tradisi belis juga berbeda-beda sarana utamanya, seperti masyarakat Flores Timur (Lamaholot) menggunakan gading gajah, masyarakat Alor dan Pantar menggunakan Moko, masyarakat Sumba dan beberapa masyarakat lain menggunakan hewan.
Pada umumnya bentuk pemberian dalam tradisi belis adalah bentuk pemberian atau pertukaran timbal-balik (resiprositas), walaupun dalam prakteknya bentuk/sarana pemberian tersebut cenderung dilihat hanya dari pemberian pihak calon pengantin laki-laki.
Belis dalam masyarakat Sumba merupakan salah satu tradisi yang mempunyai pertautan erat dengan tradisi-tradisi lain terkait dengan penyelenggaraan dan pengelolaan kehidupan manusia, serta kondisi lingkungan alam setempat.
Banyak tradisi di Sumba mengacu pada tradisi lisan yang menyatakan bahwa nenek moyang orang Sumba pertama kali tinggal di Kampung Wunga (Kecamatan Haharu), Sumba Timur sesudah menempuh perjalanan dengan perahu dari Semenanjung Malaka.
Setelah mengadakan kesepakatan-kesepakatan adat, terkait tata-cara kehidupan dan pembagian kabihu/kabizu (semacam marga), mereka kemudian menyebar ke seluruh penjuru Sumba sesuai dengan hasil kesepakatan tersebut.
Tradisi Belis sebenarnya merupakan pertukaran timbal balik (resiprositas) antara pihak calon pengantin laki-laki dan pihak calon pengantin perempuan. Tradisi ini sangat terkait erat dengan tradisi-tradisi lain di Sumba untuk menata dan mengelola kehidupan mereka dengan wilayah yang sebagian besar relatif tandus karena curah hujan relatif kecil.
Pada umumnya, masyarakat yang hidup dalam lingkungan geografis yang relatif kurang didukung oleh sumber-sumber alam yang memadai mempunyai simpul-simpul kuat dalam pengelolaan tradisi mereka untuk bersama-sama dapat bertahan hidup sampai ke anak keturunan mereka.
Sebagai salah satu rangkaian dari upacara perkawinan, tradisi belis menjadi langkah awal dalam menentukan posisi dalam relasi selanjutnya ketika kabihu/kabizu yang terlibat di dalamnya belum jelas posisinya apakah sebagai pengambil atau pemberi perempuan. Sedang bagi kabihu/kabizu yang sudah jelas posisinya, tradisi belis merupakan langkah dalam mempertegas kembali posisi masing-masing.
Dalam konteks ini kabihu/kabizu di Sumba akan menjadi jelas mana pihak pengambil perempuan dan mana pihak pemberi perempuan. Kejelasan hubungan ini akan menentukan hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam tradisi-tradisi yang lain atau dalam pengelolaan kehidupan bersama selanjutnya.
Apabila dilihat secara sepintas atau dengan kaca-mata “orang luar”, tradisi belis merupakan acara pemberian atau penyerahan hewan (biasanya kerbau dan kuda) dari pihak calon pengantin laki-laki kepada pihak calon pengantin perempuan.
Namun apabila dilihat lebih dalam lagi, pihak calon pengantin laki-laki juga menyerahkan Kanataru dan Mamuli (seperti simbol Lingga dan Yoni). Kanataru adalah hiasan yang merupakan simbol alat kelamin laki-laki, sedang Mamuli adalah hiasan yang merupakan simbol rahim atau alat kelamin perempuan, terbuat dari emas, perak, atau tembaga.
Selain itu, pihak calon pengantin perempuan juga memberikan sejumlah kain tenun dengan jenis dan motif tertentu, serta ketika strata sosialnya tinggi juga ata (hamba) perempuan yang harus ikut menemani calon pengantin perempuan.
Ketika telah terjadi kesepakatan dilanjutkan dengan penyembelihan babi atau kerbau tertentu yang separuh dagingnya untuk jamuan makan bersama dan separuh yang lain untuk dibawa pulang oleh pihak calon pengantin laki-laki.
Tiga Tahap
Ada 3 tahapan dalam tradisi belis, yaitu perkenalan dari keluarga calon pengantin laki-laki, masuk-minta dan pergi-ambil. Dalam tradisi ini dilakukan negosiasi antara pihak calon pengantin perempuan dan calon pengantin laki-laki, melalui utusan atau wunang masing-masing.
Negosiasi sering kali berjalan alot dalam mencapai kesepakatan berapa jumlah dan jenis hewan yang harus diberikan (berserta mamulinya) oleh pihak calon pengantin laki-laki dan berapa jumlah dan jenis/motif kain yang harus diberikan (beserta ata perempuan sesuai strata sosialnya) oleh pihak calon pengantin perempuan.
Ketika telah terjadi kesepakatan adat, pihak tuan rumah pasti akan memotong babi sebagai tanda kesepakatan yang “dimateraikan” dengan darah babi dan dagingnya untuk jamuan para tamunya.
Jumlah hewan yang diminta oleh pihak calon pengantin perempuan biasanya menyesuaikan strata sosialnya, bisa 30 ekor, 50 ekor, atau bahkan ada juga yang mencapai ratusan ekor. Sekarang ini, jumlah hewan yang diminta juga menyesuaikan status pendidikan atau jabatan calon pengantin perempuan.
Ketika telah terjadi kesepakatan adat, pihak tuan rumah pasti akan memotong babi sebagai tanda kesepakatan yang “dimateraikan” dengan darah babi dan dagingnya untuk jamuan para tamunya. Besar-kecilnya babi atau kerbau (bisa juga diukur dari panjang taring atau tanduknya) tergantung strata sosial pihak tuan rumah dan tamunya. Apabila belum terjadi kesepakatan, para tamu tidak diberi jamuan (makanan) apa-apa.
Hewan yang digunakan untuk adat di Sumba adalah kerbau dan kuda oleh pihak calon pengantin laki-laki serta babi oleh pihak calon pengantin perempuan. Namun dalam perkembangannya saat ini, sapi juga terkadang digunakan untuk adat. Sapi masih jarang digunakan sebagai hewan adat karena sapi dianggap hewan yang relatif “baru” dalam konteks Sumba.
Tradisi belis sebenarnya merupakan simbol penghargaan yang relatif tinggi terhadap perempuan. Untuk itu kurang dikenal istilah perceraian di Sumba. Selain itu, perempuan hanya bisa diberi belis satu kali selama hidupnya.
Ketika masyarakat Sumba hanya mengenal belis satu kali pada seorang perempuan, maka perempuan dari golongan ata yang telah di belis (istilah setempat saat ini “dibeli”) untuk masuk/membantu dalam keluarga bangsawan tertentu tidak bisa di belis lagi. Biasanya yang akan memperistri ata tersebut adalah ata laki-laki dari tuan laki-laki, dan bukan/jarang dari orang luar, terlebih-lebih keluarga bangsawan.
Apabila nantinya ada laki-laki (orang luar) yang akan memperistri ata tersebut, maka laki-laki tersebut menikah tanpa belis atau kawin-masuk dalam keluarga bangsawan tersebut. Laki-laki yang menikahi ata perempuan tanpa belis tersebut bisa keluar memisahkan diri dari keluarga bangsawan tersebut, tetapi isteri dan anak-anaknya tetap tinggal menjadi bagian dari keluarga bangsawan tersebut.
Apabila dilihat dari “orang luar” Sumba, tradisi belis dan kaitannya dengan tradisi-tradisi yang lain maupun prasyarat-prasyarat yang melingkupinya memang sangat rumit. Namun apabila dilihat dari konteks Sumba dengan kondisi geografis yang relatif gersang, maka tradisi belis menjadi salah satu bagian yang terkait erat dengan tradisi-tradisi lain untuk menata dan mengelola kehidupan setempat.
Afiliasi dua kabihu/kabizu pihak calon pengantin perempuan dan pihak calon pengantin laki-laki, nantinya akan menjadi kabihu/kabizu pemberi perempuan dan pengambil perempuan.
Relasi ini akan terus berlanjut karena tidak mungkin lagi terjadi pihak pemberi perempuan akan mengambil perempuan pada pihak pengambil perempuan. Artinya hewan sebagai properti akan terus berputar yang nantinya akan kembali lagi ke arah semula. Secara geografis, Sumba dengan padang savananya yang luas juga relatif cocok bagi pengembalaan hewan.
Selain itu, berafiliasinya antar kabihu/kabisu melalui tradisi belis juga memperkuat kerja sama dalam melakukan aktivitas seperti, penyelenggaraan upacara adat, pengembalaan hewan, tenaga kerja, ekonomi, dan sebagainya.
Dengan melihat konteks Sumba, pengerahan tenaga kerja secara maksimal sangat diperlukan. Untuk itu, ketika seorang ata perempuan sudah di belis oleh tuannya, maka laki-laki (orang luar) yang tertarik padanya harus kawin masuk dan tinggal bersama tuannya.
Serba-Serbi Belis
1. Tradisi belis dalam masyarakat Sumba merupakan salah satu komponen penting yang saling terajut dengan beberapa komponen lain dalam pengelolaan kehidupan lokal secara harmonis dan padu serasi. Pertautan erat antar komponen yang dipahami sebagai suatu ekosistem tersebut telah memberikan warna khas dalam penyelenggaraan dan pengelolaan kehidupan manusia berdasarkan kondisi lingkungan alam setempat.
2. Perjumpaan ataupun saling terajut eratnya antara pihak pemberi perempuan dan pihak pengambil perempuan dalam suatu kesepakatan tradisi belis akan membentuk ataupun memperkuat relasi-relasi afiliasi selanjutnya. Ketika telah terjadi kesepakatan adat, pihak tuan rumah pasti akan memotong hewan (babi) sebagai tanda kesepakatan yang “dimateraikan” dengan darah hewan dan dagingnya untuk jamuan para tamunya. Dalam logika saat ini, darah hewan dapat dipahami berfungsi seperti materai yang mempunyai kekuatan legalitas sebagai alat bukti dalam persidangan.
3. Tradisi belis sebenarnya merupakan simbol penghargaan yang relatif tinggi terhadap perempuan. Terminologi perceraian kurang dikenal oleh masyarakat Sumba, sehingga perempuan hanya bisa diberi belis satu kali selama hidupnya. Perempuan tersebut secara sah sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan kabihu atau kabizu (semacam marga) yang telah memberi belis. Penghargaan, hak, dan kewajibannya relatif sama dengan para perempuan lain dalam kabihu tersebut sesuai dengan posisi dan kedudukannya masing-masing.
4. Perjumpaan dan persinggungan dengan kekuatan sosial-budaya non-lokal akan memberikan “ruang” kebijakan dan manipulasinya sendiri-sendiri. Perseteruan dan persekongkolan dengan komponen-komponen sosial-budaya non-lokal tersebut terus hadir dalam ambang batas antara kebijakan dan manipulasi. Tradisi belis dan komponen-komponen sosial-budaya yang saling terkait erat lainnya ikut masuk dalam pusaran silang budaya dan berdinamika dalam ranah ambang batas antara kebijakan dan manipulasi.
5. Ketika tradisi belis dapat berdinamika dalam ekosistem yang kokoh dan terdukung erat oleh komponen-komponen lain, tradisi belis akan lestari dalam ikut memberi “warna” suatu pengelolaan kehidupan bersama secara harmonis dan serasi di Sumba. Namun apabila sudah tergerogoti dan masuk dalam ambang batas ke arah manipulasi terhadap tradisi tersebut, maka perlu usaha agar komponen-komponen dalam tradisi belis dapat padu serasi dengan perkembangan zaman.